“Biar aku yang membuangnya.”
“Aku saja! Aku kan anak kesayangan papa.”
“Tapi aku satu-satunya anak laki-laki dalam keluarga. Aku penerus keturunan. Aku yang paling tepat melakukannya.”
“Aku anak sulung. Aku yang lebih pantas!”
Empat orang dewasa di hadapanku sedang memperebutkan sebuah guci yang berisi abu hasil kremasi jasad ayah mereka. Aku tidak memedulikan pertengkaran mereka. Toh mereka hanya sedang emosi sehingga tidak bisa melihat solusi.
Seandainya aku cukup peduli, mungkin aku akan berkata seperti ini:
“Segera selesaikan urusan kalian. Seingat saya, kalian hanya membayar saya untuk menjaga perahu ini agar jangan sampai tenggelam. Tetapi dengan tingkah laku kalian, tidak lama lagi, giliran abu kalian yang akan ada dalam guci seperti itu.”
*
Tulisan ini untuk #FF2in1 yang diadakan oleh nulisbuku.
Tema 2: [puisi] Akulah si Telaga – Sapardi Djoko Darmono