Baru kali ini kulihat bibirnya tersenyum, wajahnya cerah, berseri. Tatapannya bersemangat ke kejauhan.
“Itu.” Katanya menunjuk ke tengah sabana. “Ada elang.”
Aku mengangguk. “Ya. Kenapa?”
“Aku mau mata setajam mata elang.”
Aku terkekeh. “Jangan bercanda. Kamu itu manusia, bukannya elang.”
Ia tersenyum, kecut. Lalu menunduk. “Apa salah punya mimpi?”
Tidak, gumamku seketika merasa bersalah. “Bermimpilah. Lalu berdoa. Mungkin Tuhan akan menghadiahimu sepasang mata elang.”
“Memangnya bisa?”
“Bisa.”
*
“Belum ada donor yang cocok, Bu. Saya tidak bisa berbuat apa-apa. Saat ini kita hanya bisa menunggu.”
“Tapi, Dok, anak saya…”
*
“Tidak ada mata elang, Sayang. Hanya ada mataku. Semoga kamu merasa senang.”
***