Kamu tahu, kan, kata orang, hidup ini seperti bumerang. Ia kembali kepada si pelempar. Tapi, bisakah kamu menghindar?
*
Sin duduk di pinggir ranjang, menghadap lemari kaca sembari menangkupkan kedua tangannya ke wajah. Ada yang lebih menyedihkan daripada isak yang pelan terdengar. Aku mendekatinya, meminggirkan sepasang tongkat yang beberapa hari ini membantunya berjalan.
“Sin…” Kataku sambil menyentuh bahunya. Ia tidak menjawab, tetapi langsung memelukku. Aku memeluknya lebih erat dan menahan airmata yang semakin berat.
“Aku tidak apa-apa, Mas. Lama-lama juga terbiasa.” Ia tertawa namun aku tahu, airmata masih deras mengaliri pipinya.
“Ini karma.” Bisiknya lagi. “Aku pernah sengaja menyakiti orang yang tidak seharusnya aku perlakukan demikian.”
“Sssh… Sudah.. Sudah.. Istirahat, ya.”
Sin membaringkan diri. Aku mengangkat kakinya ke atas ranjang. Perlahan. Mengusap lebih lembut dari biasanya.
“Mas?”
Di bawah lemari, ada sepatu hak tinggi bakal kado ulang tahunnya besok. Sepatu yang ia mau sejak tiga bulan lalu, dan aku beli seminggu yang lalu. Kapan dia bisa menari memakai sepatu itu? Entah.
***