Tamu-tamu berdatangan ke rumah duka, mereka hendak turut mengiringi hingga ke pemakaman Dimas yang akan dilakukan segera. Terlalu banyak orang yang ditinggalkan Dimas pada usianya yang begini muda. Kau terlalu terburu-buru, Teman?
Angin berembus kencang dan aku membenarkan letak kerudung hitamku yang nyaris berantakan. Air mataku mengalir pelan membayangkan saat-saat terakhir Dimas.
“Jill, kamu di mana? Dimas menanyakan kamu.” Ibu Dimas meneleponku dari rumah sakit ketika aku baru setengah jam pergi dari sana. Aku tak tahu harus menjawab bagaimana karena aku sedang berada di sebuah pesta ulang tahun nan meriah yang diadakan oleh rekan kerjaku.
“Jill, aku mau curhat.” Keluh Dimas jauh sebelum dia masuk rumah sakit. Ketika itu kami masih duduk di bangku kuliah.
“Aku sedang di rumah Soni. Kami sudah berjanji akan menonton episode terbaru serial ini bersama-sama. Kamu mau curhat apa, Dim? Pasti tentang Laras lagi, deh. Nanti, ya. Setelah aku selesai, aku langsung ke rumah kamu.”
Aku ingat menjawab demikian tanpa ada perasaan bersalah sama sekali. Padahal bila kuingat-ingat, sikap Dimas kepadaku sungguh bertolak belakang. Dimas ada ketika aku kecewa karena nilai ujianku tidak sesuai dengan yang aku harapkan. Dimas ada ketika aku merasa kesepian karena kedua orang tuaku lagi-lagi berlibur ke luar negeri. Dimas ada ketika aku ingin bergosip tentang rekan kerjaku yang menyebalkan. Dimas ada ketika laki-laki yang aku sukai ternyata menyukai perempuan lain. Dimas selalu ada.
*
Pemakaman selesai. Aku pulang ke rumah orang tua Dimas. Siapa tahu mereka memerlukan bantuanku tentang sesuatu yang aku sendiri belum tahu. Atau mungkin, aku hanya ingin berada di dekat hal-hal yang berbau Dimas? Ah, air matakulah yang mampu menjawab pertanyaan tadi.
“Jill, Dimas titip ini ke tante. Katanya buat kamu.” Ibu Dimas menyerahkan sebuah amplop berwarna krim. Sebuah surat.
Tidak ada yang namanya penyesalan. Semoga ketiadaanku memaksa kamu menjadi perempuan yang lebih kuat. Jangan menangis lagi, ya.
Dimas
NB: Mungkin kamu perlu tahu. Aku menyayangi kamu lebih dari seorang teman. Dan aku menyimpan bayanganmu di kepala. Untuk aku bawa hingga ke surga.
Aku melipat kertas cokelat yang telah berhiaskan tetesan air mata. Sebuah janji terucap dalam hati. Bahwa aku akan menjadi perempuan seperti yang ia kehendaki.
Langit tampak merah. Aku mencari-cari awan berbentuk senyum Dimas. Sudah saatnya melepaskan Dimas. Meski penyesalan mengenai perasaannya yang baru aku ketahui, masih meringkuk di sudut kepala.
***
Ditulis untuk #FF2in1 oleh Nulisbuku
wah.. yang tersisa sesal, sayang sekali.. 😦
Iya. Semoga kita nggak mengalami hal yang sama. 😦
sbar,,,,ada hikmah d blik smua yg terjadi….
Setuju. ^^
Confession nya Afgan, 😦
Hehe.. 😀