“Bayangkan aku sebagai sebuah apel, yang akan jatuh ke tanah karena gravitasi. Tetapi bedanya kali ini, aku jatuh ke tanah karena kamu.”
“Gombal. Haha…”
“Bukan gombal. Aku cuma mau bilang kalau aku tertarik olehmu. Coba bayangkan sekali lagi. Sebuah sepeda yang dikayuh seorang anak. Lalu seorang anak lainnya berlari di belakang. Mengejar sepeda itu. Karena itu adalah sepedanya. Dan anak yang mengayuh sepedanya adalah maling.”
“Ngg… Nggak ngerti.”
“Bayangkan lagi. Sejak mata kita pertama kali bersitatap, apa kamu merasa ada yang merasuk ke dalam dadamu?”
“Iya.”
“Itu hatiku yang kamu bawa. Dan aku tertarik olehmu untuk meminta kembali hatiku.”
“Tidak bisa.”
“Bisa.”
“Tidak bisa.”
“Bisa.”
*
Itu adalah bagian percakapan kita yang paling aku rindukan. Sebelum kamu pergi tanpa meninggalkan pesan apa-apa. Dan di sini, sembari aku berusaha melupakan segala kebaikanmu dan menajamkan ingatan akan keburukanmu –di bagian ini aku gagal– aku terus berjalan.
Hatiku lara, aku bisa merasa meski ia tak ada di tempatnya.
Barangkali kau tak bisa pergi terlalu jauh, karena hatiku yang telah kaubawa itu adalah peta yang menunjukkan padaku di mana kau berada.
“Hai.”
Kau berbalik dan tolong, jangan lari lagi.
***
Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari nulisbuku.com di Facebook dan Twitter @nulisbuku
sederhana tp keren! ow!
Whoa. Terima kasih sudah membaca. :))