Membaca Empat Puluh Lima Buku Sepanjang Tahun 2023, Inilah Sembilan Buku Terfavorit Versi Saya

Sempat terseok-seok di tengah tahun karena agak sibuk di pekerjaan, saya jadi sering membaca informasi ‘(insert a number) books behind schedule.’ Aduh, sedih. Bukan apa-apa, melainkan karena itu berarti saya menjadi agak jauh dari sesuatu yang pengin saya tekuni. Membaca buku.

Untungnya, saya segera tobat dan mengurangi laju di pekerjaan. Mengusahakan lebih banyak bengong di depan tumpukan buku untuk memilih bacaan berikutnya.

Hingga akhirnya, tahun 2023 habis dan yang tersisa dari rutinitas membaca yaitu membuat rekapitulasi bacaan terfavorit. Let’s gooo…

Baca juga buku terbaik yang saya baca di tahun 2018

1. Animal Farm – Goerge Orwell

Menyepakati ide bahwa novel ini masuk kategori literatur klasik. Dalam arti, akan tetap relevan dibaca pada zaman apa pun. Baca sekali, dua kali, berkali-kali, cerita Si Babik di novel ini akan tetap bisa dianalogikan dengan kondisi riil di situasi kekuasaan saat ini.

Kalau kalian punya daftar bacaan seumur hidup, maka Animal Farm harus masuk dalam daftar itu.

2. The Dating Game – Nina Ardianti

Meski nggak ada hal baru yang ditawarkan, tulisan Nina Ardianti jadi salah satu go-to romance lokal di agenda saya. Gaya nulisnya paling mendekati gaya nulis romance penulis luar yang saya nikmati. Karakter di The Dating Game ini oke. Konfliknya sederhana tapi bisa disajikan dengan menarik, dan penggambaran universe-nya nggak sempit (if you know what I mean). Dalam urusan novel romansa karya penulis lokal, saya suka Nina Ardianti (dan tentu saja aliaZalea). Terbaik!

3. Nyonya Bovary – Gustave Flaubert

Satu lagi karya klasik yang baru sempat saya baca sekarang. Topik utamanya soal hidup pernikahan. Melalui karakter Nyonya Bovary, Flaubert mencontohkan perempuan yang belum selesai dengan dirinya sebelum memutuskan untuk berkeluarga. Maksudnya, setelah menikah dan seharusnya berkomitmen dengan satu pria, Nyonya Bovary justru main mata dengan laki-laki lain. Nggak berhenti sampai di situ. Setelah memiliki hal-hal mendasar yang dibutuhkan dalam hidup, dia masih menginginkan barang-barang mevvah lainnya demi kepuasan nafsu.

4. Mao Mao & Berang-Berang – Clara Ng

Akhirnya Clara Ng bikin buku anak lagi. Well, memang buku anak, tapi sebagaimana buku anak karya Clara Ng yang lain, kisah Mao Mao ini wajib juga dibaca oleh orang tua. Terutama dalam kaitannya dengan perannya membentuk karakter anak.

Setiap baca novel anak, saya selalu mikir. Anak-anak yang diharapkan suka baca buku, apakah dipandu oleh orang tuanya dalam membaca? Apakah setiap buku di awal-awal perjalanan membaca si anak merupakan buku pilihan orang tuanya? I mean, di novel ini, diceritakan karakter Mao Mao yang pelan-pelan belajar selflove, serta memahami adanya keragaman suku dan agama di masyarakat. Bayangkan kalau anak-anak membaca topik seserius itu tanpa bimbingan orang tua.

5. Other Words for Home – Jasmine Warga

Jude baru kelas tujuh ketika pindah ke Amerika bersama ibunya, dari kampung halaman mereka (Syria). Membaca novel ini, pembaca diberi gambaran sudut pandang gadis cilik dari negara konflik akan sebuah negara sebesar dan semodern Amerika. Nggak semua pengalamannya menyenangkan, tapi…

…jadi imigran, atau secara umum, jadi orang asing di tempat baru. Atau yang lebih riil lagi, merantau untuk pertama kalinya pada usia muda, akan memunculkan perasaan bingung. Jati diri belum terbentuk, situasi lingkungan baru tidak selalu mendukung. Cara satu-satunya untuk bertahan, barangkali, berpikir positif bahwa masih banyak orang baik di dunia ini, dan berharap bertemu satu dua di antaranya.

6. Normal People – Sally Rooney

Setelah menonton (versi) serial televisinya, wajib banget baca novelnya kalau belum baca. Lalu, tonton ulang serialnya. Joss… Semua yang awalnya tak begitu kentara di dialog/ekspresi/body language para pemerannya, akan semakin terasa nyata setelah tahu motivasi karakter dan latar belakang setiap tindakan. Nggak ada alasan untuk nggak mengagumi Daisy Edgar-jones dan Paul Mescal yang membawakan dua karakter sentral dengan sangat memukau.

Normal People bicara soal orang-orang yang tidak fit in di lingkungan masyarakat. Meski terlihat normal dan menjalin pertemanan di lingkungan sekolah, mereka tetap punya sudut kosong di hati dan pikiran yang meminta untuk diisi oleh seseorang yang cocok.

Sekumpulan orang ‘tidak normal’ akan menjadi normal di lingkungan yang berisi orang-orang ‘tidak normal.’ Sad, but true.

7. Ways to Live Forever – Sally Nicholls

Cerita tentang hidup dari sudut pandang tokoh yang akan meninggal, sudah dapat satu poin buat saya. Karakter seperti ini biasanya punya pandangan yang unik soal hidup berdasar pengalaman mereka. Kesannya jadi seperti mengajari kaum muda yang merasa masih punya banyak waktu untuk hidup sesuka hati mereka, bebas, minim beban overthinking.

Lalu bayangkan kalau karakter yang akan meninggal itu anak kecil. Lebih muda daripada Hazel Grace di The Fault in Our Stars. Di pendeknya jangka waktu hidup mereka, insight apa yang akan kita dapat sebagai pembaca? Yes.

8. Funiculi Funicula – Toshikazu Kawaguchi

Saya kira buku ini berisi ajakan untuk mensyukuri yang kita miliki saat ini sebagaimana J-lit lain yang belakangan getol saya baca. Ternyata, Funiculi Funicula justru mengajak kita melepaskan beban masa lalu supaya bisa melangkah lebih ringan. Buku ini cocok dibaca oleh orang-orang yang masih punya penyesalan atas kejadian di masa lalu dan butuh motivasi untuk terus hidup dengan baik di masa sekarang dan masa depan. Life is good. 

9. The Psychology of Money – Morgan Housel

Wow, setiap baca buku soal pengelolaan keuangan, saya selalu merasa malu. Apa yang disampaikan di dalam buku, terutama soal kesalahan-kesalahan kita dalam membelanjakan uang, hampir semua terjadi pada saya. Dengan memaparkan fakta mengenai tipikal isi kepala masyarakat, buku ini bisa memberikan hantaman yang keras bagi pembaca yang sedikit sedikit self reward, sedikit sedikit self reward.

Sayalah pembaca yang dimaksud.

Sebagaimana buku nonfiksi/selfhelp lainnya, buku ini baiknya dibaca ketika kita memang benar-benar mau berubah (dalam memandang uang dan kekayaan). Kalau belum serius mau berubah, baca buku yang vibes-nya ngajari hanya akan bikin kesal. Huhu…

*

Sebagai penutup, saya pengin menyebut dua buku yang masuk kategori honorable mention. Ialah How Do You Live? dan Do Nothing. How Do You Live? yang jadi inspirasi animasi terbaru karya Hayao Miyazaki berisi ‘ajaran’ seorang paman kepada ponakannya yang masih muda. Jadi inti novel ini, secara nggak langsung membentuk karakter si anak remaja melalui pertanyaan, “Kamu mau jadi manusia seperti apa?” setelah si anak bingung menentukan bagaimana harus bereaksi atas suatu permasalahan.

Do Nothing merupakan buku nonfiksi yang mengajak kita untuk refleksi soal pekerjaan. Diselingi sejarah soal nosi bekerja, buku ini terutama mengingatkan kita untuk memahami lagi alasan/motivasi kita bekerja. Kerja, sih, tapi jangan mau dikerjain. Kurang lebih demikian.

***

Leave a comment