Buku Terbaik 2021

Saya membaca lima puluh dua buku sepanjang tahun 2021. Berikut ini, sembilan buku yang memberi kesan lebih baik daripada empat puluh tiga buku lainnya.

1. Cinta di Tengah Wabah Kolera – Gabriel Garciá Márquez

Gabo never fails. Novel ini bikin sisi melankolis saya muncul lagi. Sibuk membayangkan rasanya menjadi Florentino Ariza yang setia menunggu Fermina Daza. Beruntunglah orang-orang yang meyakini adanya ‘belahan jiwa’ ditambah mendapat restu semesta.

2. One and Only Bob – Katherine Applegate

Bob, seekor anjing yang tercampakkan, memandang manusia dengan penuh ke-salty-an. Namun, untung ada Ivan yang menjadi penyeimbang.

“Thunder claps. Shutters fly. Windows rattle. Water rushes. Dogs whimper. Cats howl. People yell.” -p.247

Novel ini novel anak, tapi berhasil membuat pembaca dewasa seperti saya, mikir lagi soal memperlakukan makhluk lain. Ya memang ini fiksi, tapi nggak ada salahnya mengambil sesuatu dari bacaan.

Baca juga: Buku Pilihan Tahun 2020

3. White Tiger – Aravind Adiga

Baca novelnya karena suka banget versi filmnya. Dan jadi sadar betapa versi filmnya sangat setia dengan materi asli. Aravind Adiga dengan piawai menguliti India sampai ke lapis terdalam.

4. After the Banquet – Yukio Mishima

Memberikan gambaran seperti apa rasanya jadi istri seorang politikus. Sesekali harus ikut kampanye, lain kali tidak tahu apa-apa dan mereka sibuk sendiri di belakang punggungnya. Hampir semua aspek on point; perihal politik, bisnis, relasi suami-istri, aspek Jepang.

5. Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas – Eka Kurniawan

Baca kedua kalinya sebagai persiapan menonton adaptasinya ke bentuk film. Di pembacaan kedua, semakin menyadari bahwa novel ini ‘mahal.’ Menggunakan hal-hal yang sangat personal (baca: burung) untuk ‘menjelaskan’ kehidupan.

6. The Handmaid’s Tale – Margaret Atwood

Sulit jadi perempuan? Hold my beer. Lebih sulit lagi jadi perempuan yang tugasnya hanya sebagai tempat penitipan anak dalam rahim. Patah hati membaca cerita para handmaid ini. Patah hati, sekaligus putus asa.

7. Botchan – Natsume Soseki

Gembira sekali membaca isi kepala Botchan yang menelanjangi karakter manusia di sekitarnya. Berprofesi sebagai guru, Botchan mau nggak mau harus berurusan dengan banyak manusia sekaligus berusaha meluruskan kembali hal hal di sistem pendidikan yang punya kecenderungan melenceng. Berhasilkah ia?

8. Rumah Kertas – Carlos María Domínguez

Berjumlah halaman hanya tujuh puluh enam menjadikan novela ini sebagai bacaan yang tidak akan menyita banyak waktu. Dalam sekali duduk, pembaca akan diberikan gambar tentang renjana seseorang terhadap dunia buku.

9. Looking for the King of Fishing – Zhang Wei

Kuda hitam tahun ini. Zhang Wei menghidupkan kembali nuansa legenda yang biasa saya baca ketika masa sekolah. Seiring bertambah usia, bacaan saya sempat bergeser ke selfhelp book, romance dewasa, atau fantasi yang mengangkat heroisme dewa dewi Yunani. Menemukan novel ini tanpa sengaja and turns out superb, memberikan kebahagiaan berlipat.

“Orang tua menggandeng tangan kita untuk berjalan sejauh satu setengah kilometer, tapi ternyata kita sendiri telah berjalan sejauh tiga kilometer. Seumur hidup berjalan lima kilometer.” -p.162

*

Tahun 2021 termasuk tahun yang menyenangkan dalam hal kegiatan membaca. Lebih banyak buku bagus dibandingkan buku yang tidak memberikan nilai tambah. Vibesnya lebih menyenangkan dan tentu saja, jumlah bacaan yang melampaui target. Tidak buruk, huh?

***

PS: Tulisan ini seharusnya diunggah di awal tahun 2022, tapi kadang saya terserang malas. 😦

Dalam Lima Tahun

Ketika scrolling Instagram malam ini, saya berhadapan dengan satu foto/postingan yang membawa saya menulis ini. Yah, mungkin ada kaitannya juga dengan ide tulisan untuk mengisi lagi blog yang semakin berdebu ini. I mean, saya sudah mencatat banyak ide tulisan yang saya rangkum dari berbagai pengalaman, tapi sampai beberapa saat lalu ide-ide itu hanya berakhir di notes app pada ponsel.

For once, let’s be serious.

Topik yang saya temukan, berasal dari akun hbrascend berjudul “Following Your Passion”. Di bawahnya terdapat subjudul “Where do you see yourself in five years?”

This is me imagining my life five years from now.

1. Mutasi

Karena tipe pekerjaan saya menyebabkan saya harus mutasi ke suatu tempat di seluruh Indonesia, maka lima tahun lagi, saya tidak akan berada di kota tempat saya bekerja saat ini. Tidak seratus persen akurat, namun rata-rata durasi pegawai bekerja di satu tempat yaitu 2,5 tahun. Saya sudah berada di kota selama empat bulan. Jadi, sangat mungkin saya akan pindah bekerja ke kota lain dua tahun dari sekarang.

2. Me/penulis

Saya ingin menulis. Serius, saya ingin menulis. Lebih rajin, lebih baik, lebih luas. Satu-satunya hal yang menghalangi saya mewujudkannya yaitu demotivasi. Saya merasa tidak memiliki waktu, atau tidak memiliki tujuan yang pasti. Yang selalu saya miliki adalah ide, dan perasaan bahagia ketika mulai menjelajah internet untuk menemukan bahan yang mendukung tulisan saya.

I can blame my supervisor for not being an active mentor, tapi saya juga bisa menyalahkan diri saya sendiri karena membiarkan lingkungan mendikte saya soal manfaat dan tujuan menulis. Yup, ini bicara soal tulisan di ranah pekerjaan; artikel pendek, opini untuk dikirimkan ke media massa, jurnal ilmiah, dst.

Jadi, setelah memaksa diri menulis untuk memeriahkan sebuah event kantor bulan lalu, saya merasa bersemangat. Ada beberapa rencana tulisan yang mulai saya seriusi, dan semoga api semangat ini terus berkobar. Dalam lima tahun, saya berharap bisa menulis artikel ilmiah, dan tiga di antaranya dapat diterbitkan dalam berbagai jurnal di berbagai institusi. Ada amin?

3. Naskah

I don’t know what to say about this. Pada kenyataannya, saya masih punya kesenangan menulis fiksi. Belum ada topik yang matang terkait menulis fiksi lagi, tapi never say never. Se-mo-ga ada moment yang membuat saya tidak mundur lagi setelah mengetikkan ‘Prolog’ di halaman pertama konsep tulisan.

Meski belum tentu dikirimkan ke penerbit atau diterima untuk diterbitkan, I think satu naskah utuh dalam lima tahun bukanlah sesuatu yang mustahil.

The audacity. 🤌🏻

Tidak menyangka saya berani ‘berjanji’ seperti itu secara terbuka. Banyak orang mungkin lebih memilih diam/berahasia sampai sesuatu itu benar-benar terwujud. Mungkin saya hanya sedang meracau. Well, bukan mungkin, melainkan sangat jelas saya sedang meracau.

Apa pun itu, let’s imagine something good and slowly make it happen. Berkhayal memang menyenangkan. Semoga, berupaya mewujudkan khayalan juga sama menyenangkannya.

See ya~

Membaca Colleen Hoover

 

CoHo

 

Menurut situs Goodreads, terdapat 2.980.253 penilaian atas keseluruhan karya Colleen Hoover dengan nilai/rating rata-rata yaitu 4,24. Angka tersebut merupakan data per 26 Agustus 2021. WOW. Buat saya pribadi, buku dengan rating di atas 4,00 masuk kategori ‘sebisa mungkin dibaca.’ Bila mengingat lagi beberapa karya Colleen Hoover yang sudah saya baca, rating tersebut sangat sesuai. I mean, saya sangat menikmati membaca Colleen Hoover.

Novel pertama yang mengawali perkenalan saya dengan karya CoHo (panggilan akrab Colleen Hoover) adalah Cinta Terlarang (Slammed). Membacanya di tahun 2014, membuat saya berbunga-bunga. Selain karena ceritanya yang romantis, menemukan novel bagus yang awalnya dibeli secara acak seolah melipatgandakan kesenangan. Bisa dibilang, melebihi ekspektasi. Masuk kategori romance dan young adult (YA), Slammed memang ringan. Dengan gaya bahasa sederhana dan tidak selalu baku, novel ini dapat dibaca cepat alias page turner.

Baca juga: Lima Bintang untuk Buku-Buku Ini

Dari Slammed, berlanjut ke Tanpa Daya (Hopeless), Mungkin Suatu Hari (Maybe Someday), Pengakuan (Confess), Wajah Buruk Cinta (Ugly Love), hingga Akhir di Antara Kita (It Ends With Us). Banyak yang sudah saya baca, tetapi ternyata banyak juga yang belum saya baca. Di satu sisi, CoHo termasuk penulis produktif. Di sisi lain, karya CoHo selalu balapan dengan novel lain yang ada di daftar bacaan saya. Sesuai pepatah, “Terlalu banyak buku yang ingin dibaca, terlalu sedikit waktu.”

Meski urusan cinta menjadi napas tulisan CoHo, cakupan isu lain yang diangkat dalam karya-karyanya sebenarnya cukup beragam. CoHo pandai menggunakan berbagai isu penting sebagai latar. Misalnya saja, isu trauma masa kecil di novel Hopeless, isu depresi di novel Tanpa Merit (Without Merit), isu #LoveYourself di novel 9 November, sampai isu kekerasan dalam hubungan di novel It Ends With Us. Dari sisi genre, romance menjadi garis besarnya. Namun, tidak sedikit yang berisi bumbu thriller. Bahkan Amazon melabeli novel-novel CoHo sebagai misteri psikologis (psycological thriller). Dalam sebuah wawancara, Coho mengatakan bahwa ia tidak menentukan genre ketika menulis. Ia hanya menulis. Barangkali benar, seringnya penerbit, pembaca, atau kritikus yang memberi label pada sebuah karya dibandingkan penulisnya sendiri.

 

“I thought I had written a drama but it turns to that I had written a romance. I’ve learned a lot since then, but I still don’t put a lot of weight in genre when I write.”

 

Keberhasilan CoHo menjadi penulis best seller disebut-sebut sebagai kesuksesan yang tak disengaja. Frasa yang digunakan beberapa media yaitu ‘accidental literary success‘. Ini karena kesuksesan tersebut berawal dari kegiatan menulis yang dijadikan katarsis, dalam hal ini sebagai pelepas stres. Agar dapat dibaca oleh keluarga dan kerabat, CoHo menerbitkan sendiri (self-published) tulisannya via Amazon Kindle Direst (penerbitan mandiri milik Amazon). Novel gratisan tersebut malah sukses menjadi perbincangan lalu dilirik oleh penerbit mayor (Simon & Schuster). Slammed pun terbit. Mendadak kaya, penghasilan CoHo dalam seminggu yang berasal dari Slammed, mampu menghidupi keluarganya selama setahun. Super.

Saya yakin banyak dari kalian yang sudah pernah membaca karya CoHo. Sebagiannya barangkali sama seperti saya, mendadak ngefans. Dari membaca satu novel, lalu menggali novel lain. Dari sekadar membaca karya, jadi mengikuti kehidupan pribadi yang dibaginya di media sosial. Dari cuma menikmati isi novel, menjadi melihat cara pandangnya melalui berbagai wawancara.

Sedangkan buat yang belum pernah membaca CoHo dan ragu hendak memulai dari (novel) mana, berikut rekomendasi saya. Pertama, Slammed. Sebagai karya awal CoHo, Slammed bisa dibilang matang. Penyajiannya ringan tetapi konfliknya cukup berbobot (tentang hubungan terlarang guru dan murid). Setelah Slammed, boleh juga lanjut membaca Titik Mundur (Point of Retreat), buku kedua dari seri Slammed. Buku terakhir dari seri Slammed berjudul Gadisku (This Girl), bisa dilewatkan karena buku ini merangkum dua buku sebelumnya tetapi diceritakan dari sudut pandang Will.

Screen Shot 2021-08-26 at 22.26.35

Rekomendasi kedua, Maybe Someday. Saya suka novel ini karena tokohnya unik. Tuli tetapi pandai menulis lagu. Yup, novel ini berbicara soal musik, di samping soal cinta dan pengkhianatan. Ketiga, It Ends With Us. Novel ini sangat kental menunjukkan keberanian untuk bilang ‘nggak’. Berani menentukan batas dan teguh menegakkan batas tersebut. It Ends With Us bisa jadi referensi yang sangat bagus untuk topik kekerasan domestik. Disajikan secara riil, nggak cengeng. Keempat, Confess. Confess mengangkat topik seni. Tokoh utamanya adalah pelukis. Topik lain yang juga jadi bahasan di novel ini yaitu hak asuh anak. Terakhir, Ugly Love. Ugly Love ini bonus, bacaan hiburan. Topiknya friends with benefit. If you know what I mean. Sejauh ini, Ugly Love menjadi novel CoHo yang paling ‘panas.’

CoHo, ringkasnya, menulis cerita yang bisa bikin perasaan hangat. Tak perlu percaya konsep jodoh/cinta sejati/happy ending, tak peduli sedang jatuh cinta atau baru jatuh terpuruk, saya meyakini penting membaca roman untuk mempertahankan soft spot dalam diri. Juga bisa menumbuhkan empati atau belas kasih kepada sesama. Demikian?

***