[Cerpen] F(r)iksi

*

Remy berjalan lebih cepat dari biasanya. Ia merasa diikuti. Suara langkah kaki di belakangnya terdengar ramai. Lima orang, pikirnya asal.

Beberapa meter di depan, jalanan bercabang tiga. Untuk menuju rumahnya, ia harus berjalan lurus hingga perempatan berikutnya. Namun kekhawatirannya membawa Remy berbelok ke kiri. Ada minimarket dua puluh empat jam yang bisa ia gunakan sebagai pengalih perhatian. Setidaknya ia butuh waktu untuk berpikir —tepatnya berharap— bahwa kekhawatiran ini tidak beralasan. Satu-satunya yang harus ia waspadai saat ini adalah telepon dari editornya. Remy masih punya satu minggu sebagaimana yang mereka sepakati, namun editornya bertindak seolah-olah besok adalah minggu depan itu, menuntut Remy bekerja lebih cepat.

Yusuf, petugas kasir minimarket, menyapanya. Remy membalas sekenanya. Ia menuju sembarang rak di bagian belakang toko, mencari posisi yang tepat untuk memperhatikan jalanan di depan minimarket. Ia menunggu cukup lama namun tidak ada seorang pun yang lewat. Akhirnya ia menyambar sekaleng kopi lalu menuju kasir.

“Lihat apa, sih? Kamu kelihatan khawatir.”

“Lembur?” Remy mengalihkan pembicaraan.

“Menggantikan Uti, cuma sampai tengah malam.”

Ketika membuka pintu minimarket, angin malam kembali menyapa wajah Remy. Ia melanjutkan perjalanan, berusaha melangkah dengan tenang. Di persimpangan terakhir, ia berbelok. Dari kejauhan, terlihat dua laki-laki dan satu perempuan bersandar santai pada pagar rumahnya. Remy tidak mengenal satu pun dari ketiga orang itu. Mereka bersikap seolah memiliki seluruh waktu di semesta ini.

Ketika Remy semakin dekat, laki-laki berkaus merah berjalan menyongsongnya. Wajahnya tampak lega, seolah Remy adalah orang yang selama ini ia cari dengan sungguh-sungguh dan akhirnya berhasil ditemukan.

“Remy B. Laksono?”

“Ada yang bisa saya bantu?” Suara Remy bergetar, tidak bisa ia kendalikan.

Kali ini laki-laki berkemeja putih yang berbicara, “Kami dengar kamu tinggal di sini. Maaf sudah mengganggu. Kami bisa kembali besok pagi asalkan kamu berjanji mau menemui kami.”

Remy memperhatikan mereka. Dua laki-laki tadi berbicara bergantian kepadanya. Seorang perempuan berdiri agar jauh, menunduk, dan memainkan kakinya di aspal berpasir seperti sedang menggambar sesuatu. Merasa diperhatikan, perempuan itu menjatuhkan lirikan tajam ke arah Remy. Remy merasa tak nyaman. Hanya perempuan itu, perempuan satu-satunya dalam rombongan, yang bersikap tak ramah padanya.

“Ta-tapi siapa kalian…”

Remy belum selesai bicara, mereka beranjak pergi atas komando laki-laki berkemeja putih.

“Sampai jumpa besok.” katanya.

Meski mereka datang beramai-ramai, Remy tidak merasakan adanya ancaman. Tetapi jelas kedatangan mereka bukan untuk menjalin pertemanan. Sebelum membuka kunci pagar, Remy melirik sekilas rombongan yang menjauh. Perempuan itu, yang berjalan paling belakang, mengenakan jaket berwarna hitam bertuliskan “Sekolah Khusus untuk yang Percaya – Generasi Ke-1.”

Remang bulu kuduknya melihat itu. Seingat Remy, ia belum belum pernah membicarakan soal Sekolah itu kepada siapa pun. “Ini mustahil.”

Remy mengambil gelas dan batu es dari kulkas lalu membuka kaleng kopi yang dibelinya di minimarket. Ia berjalan ragu ke arah meja kerja di sudut kamarnya. Harapannya, ingin segera menyelesaikan cerpen terakhir yang ia janjikan kepada editornya, tapi ia juga masih belum yakin dengan arah cerita yang sedang ditulis.

“Sekolah Khusus untuk yang Percaya – Generasi Ke-1. Agar setiap keputusan dilandaskan pada keyakinan bahwa alasan itu nyata, tindakan itu nyata, akibat itu nyata. Dan setiap ketidakpercayaan adalah kepercayaan itu sendiri.”

Jemarinya berhenti. Mengetukkannya ritmis di atas meja. Ia menguap satu kali. Remy berhenti di potongan tulisan yang lain. Matanya berangsur meredup. Selama ini, kopi baginya memang bukan untuk menghalau kantuk. Kopi dan air putih dapat saling menggantikan. Kapan saja.

“Ada satu ciri khas yang pasti dimiliki oleh mereka yang Percaya. Tanda lahir berbentuk daun di leher kiri.”

Alarm ponselnya berdering pukul empat pagi dan ia terbangun dalam keadaan lelah seperti habis berlari. Ia duduk tegak dan meregangkan badan sebelum beranjak ke kamar mandi. Orang bilang, keluar dari rutinitas bisa memantik kreativitas. Menulis di tempat asing mungkin ide yang bagus, pikirnya. Lima belas menit kemudian, Remy menenteng tas yang sudah lengkap dengan perlengkapan menulis. Tujuannya adalah restoran yang buka dua puluh empat jam.

Rutinitasnya memang berbeda di restoran itu, ditambah lagi ada tiga orang yang tanpa sadar berada di tempat yang tepat.

“Aku rasa Remy ketakutan. Apa kita tampak seperti penjahat?” Hiro bercermin di jendela restoran dua puluh empat jam tempat mereka menunggu pagi. Wajahnya bersih. Tak ada cambang yang ia biarkan tumbuh bahkan satu sentimeter.

“Tidak, tidak. Dia tidak ketakutan. Penulis bukan penakut. Mereka terbiasa dengan segala kemungkinan, yang terburuk sekalipun. Lagipula, hanya ini tujuan kita.” Denis menimpali sembari menunjuk amplop cokelat di atas meja. “Setelahnya, selesai. Kita menerima upah, lalu menghilang. Kita tidak pernah ada di sini.”

“Entahlah.” Monika berkata pelan. “Aku hanya ingin pulang.”

Denis dan Hiro saling menatap. Mereka bertanya pada satu sama lain di saat yang bersamaan, “Bagaimana sekarang?”

“Menunggu.” Bisik Monika.

Pukul 04.30 pagi, pintu restoran terbuka. Remy datang dengan ranselnya dan menempati kursi di dekat kasir, selisih empat meja dengan mereka. Denis dan Hiro terlihat kaget, Monika biasa saja. “Aku sudah tahu dia akan ke tempat ini. Di tidurnya, ia mengigau. Aku akan ke sana.”

Melihat Remy, Denis menyambar amplopnya lalu beranjak menuju Remy. Hiro mengikuti.

“Inspirasi datang ketika semua orang sedang terlelap, eh?” Denis membuka suara.

“Bikin kebiasaan baru?” Monika berkata ragu-ragu.

“Eh?” Remy tergagap. “Bagaimana kalian tahu kalau aku…”

“Tenang. Kami bukan orang jahat, kok.” Hiro menyela.

Denis duduk berhadapan dengan Remy, Hiro di samping Denis, dan Monika di samping Remy. Tanpa basa basi, Denis menyerahkan amplop cokelat tersebut, “Sebuah penghargaan atas kepiawaian menulis yang kamu miliki.”

“Aku tidak mau dibayar untuk menulis kebohongan.” Remy mendorong amplop yang sudah dikenalnya dengan baik kembali ke arah kedua laki-laki itu. Remy tidak menyangka isu ini belum selesai, ia sudah pernah menolak permintaan yang sama tiga tahun lalu.

“Setelah pemilihan komisaris selesai dan ia terpilih, kamu akan menerima lebih banyak. Coba bayangkan, hidup sebagai orang kaya. Asyik, bukan?” Hiro menimpali.

Remy menggeleng.

“Aku akan tinggalkan amplop ini di sini. Kamu masih punya waktu untuk berpikir. Hubungi aku kapan saja.” Denis melipat lengan kemeja putihnya lalu beranjak. Hiro pun beranjak. Monika tetap di sana.

“Mengapa kamu masih di sini? Mereka tidak menunggumu?” Tanya Remy.

“Aku ingin pulang…ke tempat yang kauciptakan. Kamu juga akan pulang ke tempat yang tepat untukmu.”

“A-aku…” Remy memandang Monika lama. Ia mengingat rumah, mengingat tawaran itu, mengingat potongan tulisannya yang terakhir. Ada tanda lahir berbentuk daun di leher kiri Monika. Ia mengabaikan Monika, segera membereskan barang-barangnya kemudian pergi dari restoran itu. Monika mengikuti. Matahari masih belum menampakkan wujudnya. Remy menggigil. Apa perempuan berjaket tipis itu tidak kedinginan, tanyanya dalam hati.

“Percaya membuatmu hangat. Kamu juga harus belajar Percaya.”

Monika melanjutkan, “Aku tahu, kok. Setiap kali jemarimu mengetik sesuatu tapi kepalamu bicara hal lain, ketika itulah kamu bicara padaku.”

“Apa ini ada hubungannya dengan tawaran kedua kaki-laki tadi?”

“Bisa iya. Bisa juga tidak. Aku tidak mengenal mereka. Aku hanya tahu bahwa mereka akan membuatmu ragu, harus ada seseorang yang membantumu membuat keputusan. Percaya.”

“Aku tidak punya tanda lahir itu. Aku bukan orang yang Percaya.” Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulut Remy.

“Siapa bilang tidak?”

Monika mengibaskan telunjuk, mendaratkannya di leher kiri Remy. Sentuhan panas sedetik mengagetkan Remy, membuatnya refleks memandang Monika dengan tatapan penuh tanya, “Apa yang kamu lakukan?”

“Aku mau pulang…ke tempat yang kamu ciptakan untukku.”

Tubuh Monika berangsur samar, berjalan cepat seolah akan menabrak Remy. Namun, alih-alih menabrak, bayangan samar itu malah memeluk. Remy memejamkan mata merasakan kehangatan yang timbul. Ketika membuka mata, ia berteman kehampaan. Matanya masih mencari-cari Monika ketika angin dingin kembali berembus menimbulkan kejang pelan di tubuh Remy. Sekilas senyum terbit di bibirnya.

“Aku pulang.”

***

[Matilda] Bacaan Wajib Para Orang Tua

matilda

Judul: Matilda
Penulis: Roald Dahl
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (GPU)
Tahun Terbit: Agustus 2010
Jumlah Halaman: 261
ISBN: 9789795111672
Blurb:

Matilda sangat jenius, selain juga amat perasa. Sebelum berusia lima tahun, dia sudah membaca karya-karya pengarang besar. Tapi orangtuanya menganggap dia hanya seperti ketombe yang menjengkelkan. Matilda memutuskan untuk mengurus dirinya sendiri. Ketika “diserang” Miss Trunchbull, kepala sekolahnya yang amat kejam, dia baru sadar ternyata dirinya punya kekuatan supernatural. Lalu Matilda memakai kekuatan istimewanya itu untuk menyelamatkan sekolahnya, terutama guru kesayangannya, Miss Honey.

*

Saya yakin, tidak cuma saya. Banyak pembaca di luar sana yang mulai mengoleksi buku tertentu untuk diwariskan kepada anak cucunya. Tidak bisa dipungkiri, bahwa sebagai orang (yang lebih) tua, kita memiliki lebih banyak referensi bacaan sehingga dengan bangganya kita memilih buku untuk dibaca anak kita kelak. Banyak yang juga berpendapat bahwa anak memiliki kebebasan sendiri dalam menentukan buku apa yang ia baca, tapi orang tua juga berperan untuk mengarahkan anak agar terhindar dari bacaan yang menyesatkan.

Salah satu buku yang jelas akan saya wariskan kepada anak cucu kelak adalah Matilda. Lebih besar dari sekadar bacaan anak-anak, rasanya Matilda lebih penting untuk dibaca oleh para orang tua. Dari bab pertama, pembaca sudah dihadapkan pada dua tipe orang tua: yang bangga dengan anaknya seburuk apa pun sang anak dan yang tidak peduli pada anaknya sebaik apa pun sang anak. Sebagai (calon) orang tua, kita (akan) termasuk yang mana?

Orang tua Matilda adalah tipe kedua.

“Terkadang bisa dijumpai juga orangtua yang bersikap sebaliknya: mereka ini sama sekali tidak peduli terhadap anak-anak mereka. Dan ini tentu saja lebih buruk daripada para ayah dan ibu yang terlalu besar kasih sayangnya.” –hal. 9

Mengenai mengapa Matilda tak diindahkan oleh orang tuanya, pembaca tak diberi penjelasan. Tahu-tahu Matilda dianggap sebagai pengganggu oleh orangtuanya yang sibuk dengan urusan mereka sendiri. Agak menyesakkan dada, sih. Punya anak tetapi bersikap tak peduli. Tidak berhenti sampai di situ, mereka bahkan menganggap kemampuan Matilda berbicara di usia satu setengah tahun sebagai kecerewetan. Mereka juga tidak percaya bahwa di usianya yang kelima, Matilda sudah lancar membaca buku-buku karya pengarang besar (orang tuanya menganggap bahwa Matilda hanya melihat-lihat gambar yang ada di dalam buku itu), atau menghitung dengan cepat dan benar (orang tuanya menganggap Matilda mengintip catatan ayahnya sehingga bisa menjawab dengan benar). Benci pada anak sendiri? Heu?

Syukurnya, selain jenius, karakter Matilda juga bisa dibilang dewasa. Ia memutuskan untuk mencari kesibukan sendiri alih-alih memusingkan sikap orangtuanya tersebut. Sosok Matilda menjadi semakin adorable karena bentuk pelariannya adalah membaca buku. Matilda bahkan membaca buku karya pengarang, yang di saya sendiri buku-buku tersebut masih bertengger manis di reading list. Charlotte Bronte, H.G. Wells, Jane Austen, John Steinback, Charles Dickens, Graham Greene, C.S. Lewis. You name it. Selain itu, Matilda sebenarnya bukan anak yang mudah emosi, ia juga tidak membenci ayah dan ibunya, tetapi toh di beberapa kesempatan ia tetap membalas dendam. Hehe. Tidak ada yang tahu perbuatan Matilda kepada orang tuanya, sehingga tak ada celah bagi tokoh mana pun untuk menceramahi pembaca mengenai apa yang baik dan tidak baik dilakukan anak terhadap orang tua yang jahat.

Berbicara tentang ceramah, hanya sedikit pesan moral yang disampaikan secara eksplisit di novel ini, itu pun kalau pembaca merasa perlu menemukan pesan moral. Salah satunya berasal dari Miss Honey, guru kelas Matilda. Itu pun untuk menjelaskan bahwa pekerjaan orang tua Matilda di bidang jual beli mobil, disertai tindakan tertentu yang dapat dikategorikan sebagai penipuan. Terlebih lagi, mereka melakukannya dengan sadar dan bertujuan untuk menguntungkan diri sendiri. Tentu sikap buruk seperti itu tak perlu diperdebatkan (baik atau buruk) sebagaimana ‘tindakan bermoral’ lainnya.

Kembali ke sikap orang dewasa, selain (karakter) orangtua Matilda yang memaksa kita bercermin, ada beberapa contoh kelakukan orang tua/dewasa yang membuat kita berpikir, khususnya mengenai sikap kita kepada anak-anak. Di antaranya, tokoh kepala sekolah yang begitu getol mengumpat.

matilda-kutipan

Overall, betapa menyenangkan mengetahui Matilda merupakan novel anak yang tidak dipenuhi dengan pesan moral. Termasuk tentang kepala sekolah yang hobi mengumpat, tak ada tokoh yang bersuara untuk menegaskan bahwa mengucapkan kata-kata kasar adalah perbuatan yang sopan atau tidak sopan. Roald Dahl seolah membiarkan anak membaca, menikmati, menyimpulkan sendiri apa yang baik dan tidak baik. Barangkali, anak tak perlu diatur atau diarahkan agar meyakini suatu pendapat tertentu karena anak adalah individu yang bebas.

Tapi, orang tua yang khawatir mungkin tidak akan menyodorkan Matilda untuk dibaca oleh anak-anak mereka karena novel ini penuh dengan perbuatan jahat (orang dewasa yang jahat, dan anak-anak yang tukang balas dendam). Padahal novel kontroversial bisa memantik percakapan antara anak dan orang tua, lo.

Lima bintang untuk Matilda yang menggemaskan, dewasa, dan merdeka.

***

Lima Bintang untuk Buku-Buku Ini

“Buku seperti apa yang kamu beri lima bintang?”

Setelah bertahun-tahun mencatat dan memberi nilai pada ratusan buku di situs Goodreads, ternyata saya masih butuh waktu untuk menjawab pertanyaan di atas. Kalau hanya memberi contoh buku dimaksud, tentu mudah. Tinggal buka profil lalu temukan buku-buku yang mendapat lima bintang. Bahkan, kalau buku tersebut adalah buku yang baru saja selesai dibaca, maka kita bisa langsung sebutkan judulnya karena masih segar di ingatan. Namun, pertanyaan yang sebenarnya tersirat bukanlah ‘apa’ melainkan ‘kenapa’.

Jadi, kenapa?

Kalau pertanyaan tersebut ditanyakan pada berbagai pembaca, jawaban akan sangat beragam. Satu orang akan punya preferensi/selera/kebutuhan bacaan yang berbeda. Yang lain, punya urutan aspek yang berbeda. Asalkan satu aspek terpenuhi, maka aspek lain menjadi kurang penting dalam menentukan rating akhir. Akan ada pembaca yang lebih mengutamakan karakter yang menarik dibanding kalimat yang indah. Akan ada pembaca yang berpendapat bahwa akhir yang penuh kejutan adalah harga mati. Juga, akan ada pembaca yang lebih mementingkan tema spesifik tertentu dibandingkan tema yang lain.

Baca juga: Menilai Bacaan, Menghakimi Selera

Setelah mempertimbangkan berbagai aspek dan melalui beberapa sesi bengong, sepertinya poin-poin berikutlah yang menjadi alasan saya memberi sebuah buku nilai sempurna atau lima bintang di Goodreads.

1. Anti skip skip club
Sampai saat ini, saya belum bisa membedakan gaya khas (penulisan) satu penulis dari penulis lain. Akibatnya,  yang terpenting buat saya bukanlah gaya tulisan yang khas melainkan jalinan kalimat yang bisa atau tidak bisa membuat saya tekun membaca kalimat per kalimat. Asalkan tidak ada kalimat yang saya lewatkan, maka buku tersebut sangat berpotensi dapat lima bintang. Apa pentingnya aspek ‘anti skip skip club’ ini? Penting. Karena, buat apa kalimat tersebut dimunculkan kalau ternyata bisa dilewatkan begitu saja tanpa menghilangkan konteks dan nuansa cerita? Melewatkan kalimat juga menjadi indikasi bahwa dunia yang dibangun tidak berhasil membuat saya terpikat. Semacam, “Ya sudah, (baca) skip skip yang penting tahu cerita utuhnya tentang apa.”

2. Karakter spesial
Karakter yang tidak biasa akan menjadi magnet yang cukup kuat menarik rasa penasaran saya. Karakter yang unik ditambah sudut pandang orang pertama, kombo! Melalui POV1, saya jadi tahu alasan si karakter unik ini memilih cara untuk menyelesaikan masalah. Contoh nyata dari poin ini adalah seri The Rosie Project. Karakter utamanya bernama Don Tillman, seorang profesor bidang genetika tapi tidak pandai bersosialisasi. Hasilnya adalah individu yang super logis, terencana, dan…kaku. Cerita menjadi menarik banget ketika Don Tillman bertemu Rosie yang hidupnya lebih ‘berantakan’. Cara Rosie dan, terutama, Don Tillman untuk saling menyesuaikan diri menjadi sajian yang konsisten menimbulkan tanda tanya. Bagaimana, mengapa, setelah ini apa. Hasil akhirnya yaitu novel yang seru, lucu, dan menghangatkan hati.

 

“Maksud Anda, aku orang di fakultas yang paling mungkin bersikap tidak sesuai norma. Dan Anda ingin aku bertindak lebih sesuai norma. Hal itu sepertinya permintaan yang tidak masuk akal untuk diajukan kepada ilmuwan.”
(The Rosie Project, hlm. 109)

 

3. Ceramah implisit
Novel yang terlalu preaching terasa sangat membosankan. Kalau butuh motivasi, maka saya nggak akan baca novel. Saya akan lebih memilih selfhelp book. Tolonglah. Nggak masalah kalau penulis punya nilai yang ingin disampaikan, tapi samarkan. Jangan buat pembaca (baca: saya) merasa seperti sedang berada di rumah ibadah, di hadapan para pemuka agama. Narasi bernada ceramah merupakan hal terakhir yang ingin saya temukan ketika membaca fiksi.

4. Semakin tragis semakin bikin nangis
Bagian ‘bikin nangis’ mungkin lebih cocok buat romance, tapi bagian ‘tragis’ bisa masuk ke genre lain seperti misteri dan fantasi. Iya, novel yang tragis dan/atau sampai bisa membuat saya menitikkan air mata punya kesempatan sangat besar untuk dapat lima bintang. Dua di antaranya yaitu The Reader (Bernhard Schlink, 1995) dan Call Me By Your Name (André Aciman, 2007). Btw, kalau membaca bisa dijadikan upaya untuk lari dari kenyataan, mengapa saya memilih membaca kisah yang tragis? Apa kenyataan hidup saya sungguh berkebalikan dari kata tragis? Tentu tidak. Untuk poin ini, nggak ada alasan khusus. It’s just my cup of tea.

5. Opsional: Kejutan akhir, #TIL, Motivasi
Meski tidak wajib, akhir yang mengejutkan tetap berpotensi memberikan aftertaste yang baik. Menemukan pengetahuan baru menjadi kejutan tersendiri ketika membaca novel. Trivia-trivia yang ditemukan bisa jadi tambahan bahan obrolan. Menyadari berbagai motivasi karakter melakukan tindakan tertentu juga bernilai positif buat saya. Semakin kuat motivasi karakter, semakin kuat juga ceritanya. Mungkin juga akan tinggal lama di ingatan. Poin kelima ini bisa jadi tambahan untuk mendukung penilaian seandainya aspek utama (poin 1-4) tidak sedemikian memuaskan.

*

Pendapat ini sangat boleh didiskusikan dengan mengemukakan berbagai sudut pandang lainnya. Kolom komentar terbuka lebar. Mari.  😀

***

Kredit foto: Markus Spiske (unsplash.com)