Membaca Colleen Hoover

 

CoHo

 

Menurut situs Goodreads, terdapat 2.980.253 penilaian atas keseluruhan karya Colleen Hoover dengan nilai/rating rata-rata yaitu 4,24. Angka tersebut merupakan data per 26 Agustus 2021. WOW. Buat saya pribadi, buku dengan rating di atas 4,00 masuk kategori ‘sebisa mungkin dibaca.’ Bila mengingat lagi beberapa karya Colleen Hoover yang sudah saya baca, rating tersebut sangat sesuai. I mean, saya sangat menikmati membaca Colleen Hoover.

Novel pertama yang mengawali perkenalan saya dengan karya CoHo (panggilan akrab Colleen Hoover) adalah Cinta Terlarang (Slammed). Membacanya di tahun 2014, membuat saya berbunga-bunga. Selain karena ceritanya yang romantis, menemukan novel bagus yang awalnya dibeli secara acak seolah melipatgandakan kesenangan. Bisa dibilang, melebihi ekspektasi. Masuk kategori romance dan young adult (YA), Slammed memang ringan. Dengan gaya bahasa sederhana dan tidak selalu baku, novel ini dapat dibaca cepat alias page turner.

Baca juga: Lima Bintang untuk Buku-Buku Ini

Dari Slammed, berlanjut ke Tanpa Daya (Hopeless), Mungkin Suatu Hari (Maybe Someday), Pengakuan (Confess), Wajah Buruk Cinta (Ugly Love), hingga Akhir di Antara Kita (It Ends With Us). Banyak yang sudah saya baca, tetapi ternyata banyak juga yang belum saya baca. Di satu sisi, CoHo termasuk penulis produktif. Di sisi lain, karya CoHo selalu balapan dengan novel lain yang ada di daftar bacaan saya. Sesuai pepatah, “Terlalu banyak buku yang ingin dibaca, terlalu sedikit waktu.”

Meski urusan cinta menjadi napas tulisan CoHo, cakupan isu lain yang diangkat dalam karya-karyanya sebenarnya cukup beragam. CoHo pandai menggunakan berbagai isu penting sebagai latar. Misalnya saja, isu trauma masa kecil di novel Hopeless, isu depresi di novel Tanpa Merit (Without Merit), isu #LoveYourself di novel 9 November, sampai isu kekerasan dalam hubungan di novel It Ends With Us. Dari sisi genre, romance menjadi garis besarnya. Namun, tidak sedikit yang berisi bumbu thriller. Bahkan Amazon melabeli novel-novel CoHo sebagai misteri psikologis (psycological thriller). Dalam sebuah wawancara, Coho mengatakan bahwa ia tidak menentukan genre ketika menulis. Ia hanya menulis. Barangkali benar, seringnya penerbit, pembaca, atau kritikus yang memberi label pada sebuah karya dibandingkan penulisnya sendiri.

 

“I thought I had written a drama but it turns to that I had written a romance. I’ve learned a lot since then, but I still don’t put a lot of weight in genre when I write.”

 

Keberhasilan CoHo menjadi penulis best seller disebut-sebut sebagai kesuksesan yang tak disengaja. Frasa yang digunakan beberapa media yaitu ‘accidental literary success‘. Ini karena kesuksesan tersebut berawal dari kegiatan menulis yang dijadikan katarsis, dalam hal ini sebagai pelepas stres. Agar dapat dibaca oleh keluarga dan kerabat, CoHo menerbitkan sendiri (self-published) tulisannya via Amazon Kindle Direst (penerbitan mandiri milik Amazon). Novel gratisan tersebut malah sukses menjadi perbincangan lalu dilirik oleh penerbit mayor (Simon & Schuster). Slammed pun terbit. Mendadak kaya, penghasilan CoHo dalam seminggu yang berasal dari Slammed, mampu menghidupi keluarganya selama setahun. Super.

Saya yakin banyak dari kalian yang sudah pernah membaca karya CoHo. Sebagiannya barangkali sama seperti saya, mendadak ngefans. Dari membaca satu novel, lalu menggali novel lain. Dari sekadar membaca karya, jadi mengikuti kehidupan pribadi yang dibaginya di media sosial. Dari cuma menikmati isi novel, menjadi melihat cara pandangnya melalui berbagai wawancara.

Sedangkan buat yang belum pernah membaca CoHo dan ragu hendak memulai dari (novel) mana, berikut rekomendasi saya. Pertama, Slammed. Sebagai karya awal CoHo, Slammed bisa dibilang matang. Penyajiannya ringan tetapi konfliknya cukup berbobot (tentang hubungan terlarang guru dan murid). Setelah Slammed, boleh juga lanjut membaca Titik Mundur (Point of Retreat), buku kedua dari seri Slammed. Buku terakhir dari seri Slammed berjudul Gadisku (This Girl), bisa dilewatkan karena buku ini merangkum dua buku sebelumnya tetapi diceritakan dari sudut pandang Will.

Screen Shot 2021-08-26 at 22.26.35

Rekomendasi kedua, Maybe Someday. Saya suka novel ini karena tokohnya unik. Tuli tetapi pandai menulis lagu. Yup, novel ini berbicara soal musik, di samping soal cinta dan pengkhianatan. Ketiga, It Ends With Us. Novel ini sangat kental menunjukkan keberanian untuk bilang ‘nggak’. Berani menentukan batas dan teguh menegakkan batas tersebut. It Ends With Us bisa jadi referensi yang sangat bagus untuk topik kekerasan domestik. Disajikan secara riil, nggak cengeng. Keempat, Confess. Confess mengangkat topik seni. Tokoh utamanya adalah pelukis. Topik lain yang juga jadi bahasan di novel ini yaitu hak asuh anak. Terakhir, Ugly Love. Ugly Love ini bonus, bacaan hiburan. Topiknya friends with benefit. If you know what I mean. Sejauh ini, Ugly Love menjadi novel CoHo yang paling ‘panas.’

CoHo, ringkasnya, menulis cerita yang bisa bikin perasaan hangat. Tak perlu percaya konsep jodoh/cinta sejati/happy ending, tak peduli sedang jatuh cinta atau baru jatuh terpuruk, saya meyakini penting membaca roman untuk mempertahankan soft spot dalam diri. Juga bisa menumbuhkan empati atau belas kasih kepada sesama. Demikian?

***

[Matilda] Bacaan Wajib Para Orang Tua

matilda

Judul: Matilda
Penulis: Roald Dahl
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (GPU)
Tahun Terbit: Agustus 2010
Jumlah Halaman: 261
ISBN: 9789795111672
Blurb:

Matilda sangat jenius, selain juga amat perasa. Sebelum berusia lima tahun, dia sudah membaca karya-karya pengarang besar. Tapi orangtuanya menganggap dia hanya seperti ketombe yang menjengkelkan. Matilda memutuskan untuk mengurus dirinya sendiri. Ketika “diserang” Miss Trunchbull, kepala sekolahnya yang amat kejam, dia baru sadar ternyata dirinya punya kekuatan supernatural. Lalu Matilda memakai kekuatan istimewanya itu untuk menyelamatkan sekolahnya, terutama guru kesayangannya, Miss Honey.

*

Saya yakin, tidak cuma saya. Banyak pembaca di luar sana yang mulai mengoleksi buku tertentu untuk diwariskan kepada anak cucunya. Tidak bisa dipungkiri, bahwa sebagai orang (yang lebih) tua, kita memiliki lebih banyak referensi bacaan sehingga dengan bangganya kita memilih buku untuk dibaca anak kita kelak. Banyak yang juga berpendapat bahwa anak memiliki kebebasan sendiri dalam menentukan buku apa yang ia baca, tapi orang tua juga berperan untuk mengarahkan anak agar terhindar dari bacaan yang menyesatkan.

Salah satu buku yang jelas akan saya wariskan kepada anak cucu kelak adalah Matilda. Lebih besar dari sekadar bacaan anak-anak, rasanya Matilda lebih penting untuk dibaca oleh para orang tua. Dari bab pertama, pembaca sudah dihadapkan pada dua tipe orang tua: yang bangga dengan anaknya seburuk apa pun sang anak dan yang tidak peduli pada anaknya sebaik apa pun sang anak. Sebagai (calon) orang tua, kita (akan) termasuk yang mana?

Orang tua Matilda adalah tipe kedua.

“Terkadang bisa dijumpai juga orangtua yang bersikap sebaliknya: mereka ini sama sekali tidak peduli terhadap anak-anak mereka. Dan ini tentu saja lebih buruk daripada para ayah dan ibu yang terlalu besar kasih sayangnya.” –hal. 9

Mengenai mengapa Matilda tak diindahkan oleh orang tuanya, pembaca tak diberi penjelasan. Tahu-tahu Matilda dianggap sebagai pengganggu oleh orangtuanya yang sibuk dengan urusan mereka sendiri. Agak menyesakkan dada, sih. Punya anak tetapi bersikap tak peduli. Tidak berhenti sampai di situ, mereka bahkan menganggap kemampuan Matilda berbicara di usia satu setengah tahun sebagai kecerewetan. Mereka juga tidak percaya bahwa di usianya yang kelima, Matilda sudah lancar membaca buku-buku karya pengarang besar (orang tuanya menganggap bahwa Matilda hanya melihat-lihat gambar yang ada di dalam buku itu), atau menghitung dengan cepat dan benar (orang tuanya menganggap Matilda mengintip catatan ayahnya sehingga bisa menjawab dengan benar). Benci pada anak sendiri? Heu?

Syukurnya, selain jenius, karakter Matilda juga bisa dibilang dewasa. Ia memutuskan untuk mencari kesibukan sendiri alih-alih memusingkan sikap orangtuanya tersebut. Sosok Matilda menjadi semakin adorable karena bentuk pelariannya adalah membaca buku. Matilda bahkan membaca buku karya pengarang, yang di saya sendiri buku-buku tersebut masih bertengger manis di reading list. Charlotte Bronte, H.G. Wells, Jane Austen, John Steinback, Charles Dickens, Graham Greene, C.S. Lewis. You name it. Selain itu, Matilda sebenarnya bukan anak yang mudah emosi, ia juga tidak membenci ayah dan ibunya, tetapi toh di beberapa kesempatan ia tetap membalas dendam. Hehe. Tidak ada yang tahu perbuatan Matilda kepada orang tuanya, sehingga tak ada celah bagi tokoh mana pun untuk menceramahi pembaca mengenai apa yang baik dan tidak baik dilakukan anak terhadap orang tua yang jahat.

Berbicara tentang ceramah, hanya sedikit pesan moral yang disampaikan secara eksplisit di novel ini, itu pun kalau pembaca merasa perlu menemukan pesan moral. Salah satunya berasal dari Miss Honey, guru kelas Matilda. Itu pun untuk menjelaskan bahwa pekerjaan orang tua Matilda di bidang jual beli mobil, disertai tindakan tertentu yang dapat dikategorikan sebagai penipuan. Terlebih lagi, mereka melakukannya dengan sadar dan bertujuan untuk menguntungkan diri sendiri. Tentu sikap buruk seperti itu tak perlu diperdebatkan (baik atau buruk) sebagaimana ‘tindakan bermoral’ lainnya.

Kembali ke sikap orang dewasa, selain (karakter) orangtua Matilda yang memaksa kita bercermin, ada beberapa contoh kelakukan orang tua/dewasa yang membuat kita berpikir, khususnya mengenai sikap kita kepada anak-anak. Di antaranya, tokoh kepala sekolah yang begitu getol mengumpat.

matilda-kutipan

Overall, betapa menyenangkan mengetahui Matilda merupakan novel anak yang tidak dipenuhi dengan pesan moral. Termasuk tentang kepala sekolah yang hobi mengumpat, tak ada tokoh yang bersuara untuk menegaskan bahwa mengucapkan kata-kata kasar adalah perbuatan yang sopan atau tidak sopan. Roald Dahl seolah membiarkan anak membaca, menikmati, menyimpulkan sendiri apa yang baik dan tidak baik. Barangkali, anak tak perlu diatur atau diarahkan agar meyakini suatu pendapat tertentu karena anak adalah individu yang bebas.

Tapi, orang tua yang khawatir mungkin tidak akan menyodorkan Matilda untuk dibaca oleh anak-anak mereka karena novel ini penuh dengan perbuatan jahat (orang dewasa yang jahat, dan anak-anak yang tukang balas dendam). Padahal novel kontroversial bisa memantik percakapan antara anak dan orang tua, lo.

Lima bintang untuk Matilda yang menggemaskan, dewasa, dan merdeka.

***

Lima Bintang untuk Buku-Buku Ini

“Buku seperti apa yang kamu beri lima bintang?”

Setelah bertahun-tahun mencatat dan memberi nilai pada ratusan buku di situs Goodreads, ternyata saya masih butuh waktu untuk menjawab pertanyaan di atas. Kalau hanya memberi contoh buku dimaksud, tentu mudah. Tinggal buka profil lalu temukan buku-buku yang mendapat lima bintang. Bahkan, kalau buku tersebut adalah buku yang baru saja selesai dibaca, maka kita bisa langsung sebutkan judulnya karena masih segar di ingatan. Namun, pertanyaan yang sebenarnya tersirat bukanlah ‘apa’ melainkan ‘kenapa’.

Jadi, kenapa?

Kalau pertanyaan tersebut ditanyakan pada berbagai pembaca, jawaban akan sangat beragam. Satu orang akan punya preferensi/selera/kebutuhan bacaan yang berbeda. Yang lain, punya urutan aspek yang berbeda. Asalkan satu aspek terpenuhi, maka aspek lain menjadi kurang penting dalam menentukan rating akhir. Akan ada pembaca yang lebih mengutamakan karakter yang menarik dibanding kalimat yang indah. Akan ada pembaca yang berpendapat bahwa akhir yang penuh kejutan adalah harga mati. Juga, akan ada pembaca yang lebih mementingkan tema spesifik tertentu dibandingkan tema yang lain.

Baca juga: Menilai Bacaan, Menghakimi Selera

Setelah mempertimbangkan berbagai aspek dan melalui beberapa sesi bengong, sepertinya poin-poin berikutlah yang menjadi alasan saya memberi sebuah buku nilai sempurna atau lima bintang di Goodreads.

1. Anti skip skip club
Sampai saat ini, saya belum bisa membedakan gaya khas (penulisan) satu penulis dari penulis lain. Akibatnya,  yang terpenting buat saya bukanlah gaya tulisan yang khas melainkan jalinan kalimat yang bisa atau tidak bisa membuat saya tekun membaca kalimat per kalimat. Asalkan tidak ada kalimat yang saya lewatkan, maka buku tersebut sangat berpotensi dapat lima bintang. Apa pentingnya aspek ‘anti skip skip club’ ini? Penting. Karena, buat apa kalimat tersebut dimunculkan kalau ternyata bisa dilewatkan begitu saja tanpa menghilangkan konteks dan nuansa cerita? Melewatkan kalimat juga menjadi indikasi bahwa dunia yang dibangun tidak berhasil membuat saya terpikat. Semacam, “Ya sudah, (baca) skip skip yang penting tahu cerita utuhnya tentang apa.”

2. Karakter spesial
Karakter yang tidak biasa akan menjadi magnet yang cukup kuat menarik rasa penasaran saya. Karakter yang unik ditambah sudut pandang orang pertama, kombo! Melalui POV1, saya jadi tahu alasan si karakter unik ini memilih cara untuk menyelesaikan masalah. Contoh nyata dari poin ini adalah seri The Rosie Project. Karakter utamanya bernama Don Tillman, seorang profesor bidang genetika tapi tidak pandai bersosialisasi. Hasilnya adalah individu yang super logis, terencana, dan…kaku. Cerita menjadi menarik banget ketika Don Tillman bertemu Rosie yang hidupnya lebih ‘berantakan’. Cara Rosie dan, terutama, Don Tillman untuk saling menyesuaikan diri menjadi sajian yang konsisten menimbulkan tanda tanya. Bagaimana, mengapa, setelah ini apa. Hasil akhirnya yaitu novel yang seru, lucu, dan menghangatkan hati.

 

“Maksud Anda, aku orang di fakultas yang paling mungkin bersikap tidak sesuai norma. Dan Anda ingin aku bertindak lebih sesuai norma. Hal itu sepertinya permintaan yang tidak masuk akal untuk diajukan kepada ilmuwan.”
(The Rosie Project, hlm. 109)

 

3. Ceramah implisit
Novel yang terlalu preaching terasa sangat membosankan. Kalau butuh motivasi, maka saya nggak akan baca novel. Saya akan lebih memilih selfhelp book. Tolonglah. Nggak masalah kalau penulis punya nilai yang ingin disampaikan, tapi samarkan. Jangan buat pembaca (baca: saya) merasa seperti sedang berada di rumah ibadah, di hadapan para pemuka agama. Narasi bernada ceramah merupakan hal terakhir yang ingin saya temukan ketika membaca fiksi.

4. Semakin tragis semakin bikin nangis
Bagian ‘bikin nangis’ mungkin lebih cocok buat romance, tapi bagian ‘tragis’ bisa masuk ke genre lain seperti misteri dan fantasi. Iya, novel yang tragis dan/atau sampai bisa membuat saya menitikkan air mata punya kesempatan sangat besar untuk dapat lima bintang. Dua di antaranya yaitu The Reader (Bernhard Schlink, 1995) dan Call Me By Your Name (André Aciman, 2007). Btw, kalau membaca bisa dijadikan upaya untuk lari dari kenyataan, mengapa saya memilih membaca kisah yang tragis? Apa kenyataan hidup saya sungguh berkebalikan dari kata tragis? Tentu tidak. Untuk poin ini, nggak ada alasan khusus. It’s just my cup of tea.

5. Opsional: Kejutan akhir, #TIL, Motivasi
Meski tidak wajib, akhir yang mengejutkan tetap berpotensi memberikan aftertaste yang baik. Menemukan pengetahuan baru menjadi kejutan tersendiri ketika membaca novel. Trivia-trivia yang ditemukan bisa jadi tambahan bahan obrolan. Menyadari berbagai motivasi karakter melakukan tindakan tertentu juga bernilai positif buat saya. Semakin kuat motivasi karakter, semakin kuat juga ceritanya. Mungkin juga akan tinggal lama di ingatan. Poin kelima ini bisa jadi tambahan untuk mendukung penilaian seandainya aspek utama (poin 1-4) tidak sedemikian memuaskan.

*

Pendapat ini sangat boleh didiskusikan dengan mengemukakan berbagai sudut pandang lainnya. Kolom komentar terbuka lebar. Mari.  😀

***

Kredit foto: Markus Spiske (unsplash.com)