Lima Bintang untuk Buku-Buku Ini

“Buku seperti apa yang kamu beri lima bintang?”

Setelah bertahun-tahun mencatat dan memberi nilai pada ratusan buku di situs Goodreads, ternyata saya masih butuh waktu untuk menjawab pertanyaan di atas. Kalau hanya memberi contoh buku dimaksud, tentu mudah. Tinggal buka profil lalu temukan buku-buku yang mendapat lima bintang. Bahkan, kalau buku tersebut adalah buku yang baru saja selesai dibaca, maka kita bisa langsung sebutkan judulnya karena masih segar di ingatan. Namun, pertanyaan yang sebenarnya tersirat bukanlah ‘apa’ melainkan ‘kenapa’.

Jadi, kenapa?

Kalau pertanyaan tersebut ditanyakan pada berbagai pembaca, jawaban akan sangat beragam. Satu orang akan punya preferensi/selera/kebutuhan bacaan yang berbeda. Yang lain, punya urutan aspek yang berbeda. Asalkan satu aspek terpenuhi, maka aspek lain menjadi kurang penting dalam menentukan rating akhir. Akan ada pembaca yang lebih mengutamakan karakter yang menarik dibanding kalimat yang indah. Akan ada pembaca yang berpendapat bahwa akhir yang penuh kejutan adalah harga mati. Juga, akan ada pembaca yang lebih mementingkan tema spesifik tertentu dibandingkan tema yang lain.

Baca juga: Menilai Bacaan, Menghakimi Selera

Setelah mempertimbangkan berbagai aspek dan melalui beberapa sesi bengong, sepertinya poin-poin berikutlah yang menjadi alasan saya memberi sebuah buku nilai sempurna atau lima bintang di Goodreads.

1. Anti skip skip club
Sampai saat ini, saya belum bisa membedakan gaya khas (penulisan) satu penulis dari penulis lain. Akibatnya,  yang terpenting buat saya bukanlah gaya tulisan yang khas melainkan jalinan kalimat yang bisa atau tidak bisa membuat saya tekun membaca kalimat per kalimat. Asalkan tidak ada kalimat yang saya lewatkan, maka buku tersebut sangat berpotensi dapat lima bintang. Apa pentingnya aspek ‘anti skip skip club’ ini? Penting. Karena, buat apa kalimat tersebut dimunculkan kalau ternyata bisa dilewatkan begitu saja tanpa menghilangkan konteks dan nuansa cerita? Melewatkan kalimat juga menjadi indikasi bahwa dunia yang dibangun tidak berhasil membuat saya terpikat. Semacam, “Ya sudah, (baca) skip skip yang penting tahu cerita utuhnya tentang apa.”

2. Karakter spesial
Karakter yang tidak biasa akan menjadi magnet yang cukup kuat menarik rasa penasaran saya. Karakter yang unik ditambah sudut pandang orang pertama, kombo! Melalui POV1, saya jadi tahu alasan si karakter unik ini memilih cara untuk menyelesaikan masalah. Contoh nyata dari poin ini adalah seri The Rosie Project. Karakter utamanya bernama Don Tillman, seorang profesor bidang genetika tapi tidak pandai bersosialisasi. Hasilnya adalah individu yang super logis, terencana, dan…kaku. Cerita menjadi menarik banget ketika Don Tillman bertemu Rosie yang hidupnya lebih ‘berantakan’. Cara Rosie dan, terutama, Don Tillman untuk saling menyesuaikan diri menjadi sajian yang konsisten menimbulkan tanda tanya. Bagaimana, mengapa, setelah ini apa. Hasil akhirnya yaitu novel yang seru, lucu, dan menghangatkan hati.

 

“Maksud Anda, aku orang di fakultas yang paling mungkin bersikap tidak sesuai norma. Dan Anda ingin aku bertindak lebih sesuai norma. Hal itu sepertinya permintaan yang tidak masuk akal untuk diajukan kepada ilmuwan.”
(The Rosie Project, hlm. 109)

 

3. Ceramah implisit
Novel yang terlalu preaching terasa sangat membosankan. Kalau butuh motivasi, maka saya nggak akan baca novel. Saya akan lebih memilih selfhelp book. Tolonglah. Nggak masalah kalau penulis punya nilai yang ingin disampaikan, tapi samarkan. Jangan buat pembaca (baca: saya) merasa seperti sedang berada di rumah ibadah, di hadapan para pemuka agama. Narasi bernada ceramah merupakan hal terakhir yang ingin saya temukan ketika membaca fiksi.

4. Semakin tragis semakin bikin nangis
Bagian ‘bikin nangis’ mungkin lebih cocok buat romance, tapi bagian ‘tragis’ bisa masuk ke genre lain seperti misteri dan fantasi. Iya, novel yang tragis dan/atau sampai bisa membuat saya menitikkan air mata punya kesempatan sangat besar untuk dapat lima bintang. Dua di antaranya yaitu The Reader (Bernhard Schlink, 1995) dan Call Me By Your Name (André Aciman, 2007). Btw, kalau membaca bisa dijadikan upaya untuk lari dari kenyataan, mengapa saya memilih membaca kisah yang tragis? Apa kenyataan hidup saya sungguh berkebalikan dari kata tragis? Tentu tidak. Untuk poin ini, nggak ada alasan khusus. It’s just my cup of tea.

5. Opsional: Kejutan akhir, #TIL, Motivasi
Meski tidak wajib, akhir yang mengejutkan tetap berpotensi memberikan aftertaste yang baik. Menemukan pengetahuan baru menjadi kejutan tersendiri ketika membaca novel. Trivia-trivia yang ditemukan bisa jadi tambahan bahan obrolan. Menyadari berbagai motivasi karakter melakukan tindakan tertentu juga bernilai positif buat saya. Semakin kuat motivasi karakter, semakin kuat juga ceritanya. Mungkin juga akan tinggal lama di ingatan. Poin kelima ini bisa jadi tambahan untuk mendukung penilaian seandainya aspek utama (poin 1-4) tidak sedemikian memuaskan.

*

Pendapat ini sangat boleh didiskusikan dengan mengemukakan berbagai sudut pandang lainnya. Kolom komentar terbuka lebar. Mari.  😀

***

Kredit foto: Markus Spiske (unsplash.com)

Leave a comment