“Rekomendasi terbaik bagi saya masih datang dari teman-teman sesama pembaca yang selera bacaannya terasa sesuai dengan selera bacaan saya.”
Selera. Topik yang sangat bisa didiskusikan. Bahkan belakangan sering jadi sumber gelut di media sosial. Satu pihak menyatakan seleranya akan sesuatu, lalu didebat oleh pihak(-pihak) lain yang mengungkapkan pandangan mereka soal pernyataan pihak pertama. Masalah terjadi ketika salah satu pihak memaksakan pendapatnya sebagai yang paling benar. Diskusi pun menjadi panas dan tak jarang melenceng dari topik awal.
Di dunia baca, hal seperti ini juga sering terjadi. Setidaknya antara saya dan teman-teman. Satu buku yang kami bahas bisa menimbulkan berbagai pendapat tergantung sudut pandang yang dipakai oleh masing-masing orang. Saya suka buku tersebut karena aspek a, b, c. Orang lain tidak suka justru karena aspek b, d, f. Demikian seterusnya. Karena kami adalah sekelompok pembaca kasual dan tidak berusaha memenangkan apa pun, maka selera selalu jadi jalan keluar dari setiap diskusi.
Menurut saya, kesukaan atau ketidaksukaan kita terhadap sesuatu sangat tergantung dari persepsi awal kita mengenai hal tersebut. Persepsi awal ini merupakan akumulasi dari berbagai pengalaman serta pelajaran yang kita dapat sepanjang hidup.
Kok sedemikian berat? Memang iya.
Misalnya, buku yang baru saja selesai saya baca. Seri Flawed karya Cecelia Ahern. Secara garis besar, novel tersebut berkisah tentang sepak terjang sebuah organisasi tempat bernaungnya polisi moral. Mendengar topik polisi moral, tentu kita sudah memiliki persepsi sendiri mengenai moral. Arti moral menurut pemahaman kita, pengalaman yang pernah terjadi terkait moralitas selama hidup, perbedaan penerapan moral di berbagai daerah tempat kita pernah tinggal, besar kecilnya toleransi kita ketika ada seseorang yang melanggar nilai moral tertentu, dan sebagainya. Persepsi awal itu menjadi modal sebelum membaca, lalu sedikit banyak menentukan kesan kita setelah membaca.
Di dunia baca, selera bacaan para penggemar buku tergambar di, salah satunya, situs Goodreads.
Goodreads sudah lama jadi tempat saya ‘mencatat’ buku-buku yang sedang dan telah saya baca. Namun, sejujurnya jarang sekali saya menjadikan penilaian pengguna Goodreads sebagai patokan utama dalam menentukan buku berikutnya yang akan saya baca. Rekomendasi terbaik bagi saya masih datang dari teman-teman sesama pembaca yang selera bacaannya terasa sesuai dengan selera bacaan saya. Seringnya, saya baru melihat rating buku tertentu ketika sudah selesai membaca dan bersiap menekan tombol I’m finished. Persis sebelum memberikan nilai dan/atau menulis ulasan singkat atas bacaan tersebut. Tujuannya? Untuk melihat sejauh mana selera saya mirip dengan selera pengguna Goodreads pada umumnya.
Baca juga: Bacaan Penting Tahun 2019
Peringatan!
Bagian berikutnya akan terdengar seperti pembelaan diri. Novel-novel favorit saya dinilai rendah oleh para pengguna Goodreads. Fenomena seperti ini kerap membuat saya merasa betapa mudahnya saya bisa dibuat senang alias easy to please. Ternyata saya menyukai yang mereka nilai jelek biasa saja. Namun, balik lagi ke selera, semisal kalian setuju bahwa novel berikut layak mendapat nilai lebih (dibandingkan rating saat ini), bisa dipastikan kita berada di jalan selera yang sama. Vice versa.
Sang Pemenang Berdiri Sendirian – Paulo Coelho
Rating Goodreads 3,48
Ada yang bilang novel ini gagal karena terlalu tell, ada yang tidak suka karakternya, dan ada yang bilang bahwa seting yang digunakan tidak cukup baik mendukung cerita. Menurut saya? Novel ini visual banget. Dengan latar belakang festival film Cannes, saya malah merasa novel ini berhasil tersaji sebagai tulisan yang filmis. Terlebih lagi, saya suka cara Paulo Coelho menceritakan kelamnya kehidupan glamor. Paradoks yang menarik. Glamor tapi kelam. Kelam tapi glamor. Mungkin penceritaan yang kelam itu membuat ‘aura’ novel jadi negatif, seolah nggak ada hal baik di dunia ini.
“Ada pergulatan batin antara dua kekuatan dalam diriku: yang satu menyuruhku bersyukur pada Tuhan, sementara yang satu lagi menyuruhku meninggalkan semuanya selama masih ada waktu.” hlm. 332
Alfabet Perubahan – Clara Ng
Rating Goodreads 3.36
Dari semua buku dongeng serial dialektika, Alfabet Perubahan yang jadi favorit saya. Plus, kalau pakai sudut pandang anak-anak, novel ini menyenangkan. Mengajak anak belajar abjad dengan cara yang sangat asyik.
Blakanis – Arswendo Atmowiloto
Rating Goodreads 3.15
Lia Eden? Siapa itu Lia Eden? Di semesta Arswendo Atmowiloto, kita punya Ki Blaka. Manusia yang secara nggak sengaja menjadi ‘nabi’ karena menyebarkan ajaran tertentu. Novel ini senapas dengan The Witch of Portobello karya Paulo Coelho yang dapat rating 3,54 di Goodreads.
“Musuh utama kejujuran bukanlah kebohongan, melainkan kepura-puraan. Baik pura-pura jujur maupun pura-pura bohong.” hlm. 93
Blackjack – Clara Ng dan Felice Cahyadi
Rating Goodreads 2,92
Yang membuat saya sangat senang membaca novel ini adalah penggambaran tokoh Ashlyn dan Jaeed. Clara Ng & Felice Cahyadi sukses membuat saya geregetan dengan Ashlyn yang bodoh banget (karena cinta) dan Jaeed yang menyebalkan banget. Berbeda dengan saya, karakter Ashlyn inilah menjadi poin yang paling dikritik para pemberi rating buruk. Banyak review yang menyayangkan bodohnya karakter Ashlyn. But, halo, cinta itu buta. Dan novel ini berhasil menggambarkan butanya cinta dengan cara yang saya suka.
“Kamu tertipu karena dibutakan cinta. Dari segala kebodohan, kebodohan cinta adalah kebodohan yang paling bodoh.” hlm. 206
Kerumunan Terakhir – Okky Madasari
Rating Goodreads 3,42
Buat saya, tulisan Okky Madasari masih terlalu kental unsur ‘ceramah’ dan muatan pesan moralnya. Kurang halus. Dibandingkan Kerumunan Terakhir, 86 dan Entrok masih lebih saya sukai. Namun, novel yang terbit tahun 2016 ini pantas mendapat apresiasi lebih karena saya menganggap berhasil upaya penulis untuk merekam zaman. Beberapa dekade lagi, kita akan membaca cerita ini lagi untuk mengenang era media sosial, era pencitraan, sekaligus era kepalsuan.
“Betapa kasihannya anak-anak zaman sekarang ini. Di usia yang masih sangat muda, mereka sudah dibuat haus perhatian. Semua ingin disukai, semua ingin punya banyak pengikut, semua ingin terlihat dan dikenal.” hlm. 172
*
Oke. Sekarang saatnya saya berbagi buku-buku dengan penilaian yang sebaliknya. Boleh? Ini dia beberapa novel yang tidak sesuai selera saya namun tampaknya pengguna Goodreads cukup menikmatinya.
Carrie – Stephen King (versi Bahasa Indonesia)
Rating Goodreads 3,96
Ibuk, – Iwan Setyawan
Rating Goodreads 3,85
I love You; I just can’t tell you – Alvi Syahrin
Rating Goodreads 3,71
All You Can Eat – Christian Simamora
Rating Goodreads 3,77
Surat untuk Ruth – Bernard Batubara
Rating Goodreads 3,47
No debat!
***
saya kira memberi penilaian memang salah satu karakter terpendam manusia. seringan apapun sejarang apapun pasti kita pernah menilai. saya pernah ada dalam grup di mana pesertanya bersedih dengan fenomena meningkatnya kegemaran membaca manga. pernah juga membaca thread twitter yang menyiratkan bahwa “buku tertentu bukan bacaan dan yang lain adalah bacaan”. saya langsung merasa bersalah kalau sering baca manga atau roman picisan. seakan-akan buku-buku itu bukan buku yang layak dibaca. Well, akhirnya saya kembali lagi pada peristiwa puluhan tahun lalu ketika ayah saya mengeluarkan kritik karena bacaan saya CUMA komik. Saya senang saya mendengar kritik itu karena sejak itu saya belajar membaca dan menikmati beragam buku. Tapi…apakah ada yang salah kalo saya hanya senang baca Tintin? atau karyanya motinggo busye atau barbara cartland? saya kira yang salah adalah bila kita bicara manga sementara kita ada dalam kelompok diskusi agatha christie. So, just have fun with reading 😀
Kalau menurut pengalaman saya, semua ada masanya. Ketika awal-awal baca, saya suka komik. Setelahnya buku motivasi. Berikutnya baru novel. Begitu kenal dunia literasi, khususnya lewat media sosial, jadi tahu banyak pendapat orang. Ya termasuk pendapat yang mengecilkan genre atau penulis tertentu. Agak terpengaruh juga, jadi menganggap pembaca karya penulis a lebih “apa sih ya elah seleranya’ dibandingkan pembaca karya penulis b. Entahlah akan bisa berkurang atau akan terus menghakimi seperti itu. 🙂
maaf … terlalu semangat komen hahaha …