“Kesetiaan berakar dari rasa hormat, dan rasa hormat adalah buahnya cinta.” –hal. 173
Alasan pertama dan utama kenapa saya akhirnya mengambil Manuskrip yang Ditemukan di Accra (selanjutnya disebut Manuskrip Accra) dari rak toko buku dan membawanya ke kasir adalah (nama) Paulo Coelho.
Saya pribadi, pertama kali mengenal Coelho melalui Sebelas Menit (Eleven Minutes) yang berkisah tentang seorang pelacur yang menemukan arti kenikmatan dalam rasa sakit. Halah. Setelah Sebelas Menit, saya baca karya Coelho yang lain seperti Sang Alkemis (sepertinya ini karya Coelho yang paling banyak disukai), Veronika Memutuskan Mati, Brida, Sang Penyihir dari Portobello, Pemenang Berdiri Sendirian, dll.
Kesukaan terhadap novel-novel Coelho itulah yang mengantarkan saya ke buku Manuskrip Accra ini. Saya sebut ‘buku’ karena Manuskrip Accra tidak masuk kategori novel menurut selera saya. Manuskrip Accra tidak memiliki pembukaan, konflik, penyelesaian, dan akhir. Sesuai judulnya, Manuskrip Accra diceritakan sebagai sebuah teks panjang tentang sebuah kejadian dengan rentang waktu (penceritaan) yang sangat pendek. Hanya semalam, yaitu malam sebelum gerbang-gerbang Yerusalem dikepung. Orang-orang kota memutuskan untuk melawan, namun karena pada dasarnya mereka bukan tentara maka mereka memerlukan semacam motivasi sebelum memulai ‘perang’ keesokan harinya. Selain itu, karena merasa akan gugur dalam pertarungan tersebut, mereka perlu menegaskan kembali pemahaman mereka tentang arti hidup.
Sudah merasa diceramahi? 🙂
Disajikan dalam bentuk tanya jawab, Manuskrip Accra mempertemukan masyarakat pada seseorang yang dikenal dengan sebutan Guru. Rakyat bertanya tentang segala kegelisahan yang selama ini mereka rasakan kemudian Sang Guru, yang dalam hal ini bertindak ibarat motivator, menjawab pertanyaan tersebut dengan kalimat-kalimat motivasi–kalau nggak bisa dibilang ayat suci. Pertanyaan mereka pun bervariasi mulai dari perihal keindahan, kesendirian, cinta, seks, kematian, hingga masa depan. Saking menyeluruhnya tema pertanyaan yang diajukan, rasanya Manuskrip Accra bisa dijadikan panduan hidup (di segala aspek). Kalau di Hindu bisa diibaratkan dengan Slokantara, nih. Semacam kitab etika. *segmented*
“Bila tak pernah sendirian, mana mungkin kau mengenal dirimu sendiri. Dan bila tak mengenal dirimu sendiri, kau pun mulai takut akan kekosongan.” –hal. 40
Dengan harapan yang tinggi akan karya-karya Coelho terdahulu, saya agak kecewa dengan Manuskrip Accra. Mungkin lebih ke masanya yang kurang pas. Buku motivasi yang secara gamblang mencekoki kita dengan kalimat-kalimat indah seharusnya saya baca bertahun-tahun lalu, bersamaan dengan ketika saya menggemari serial Chicken Soup. Kalau sekarang, saya lebih menikmati panduan hidup yang disampaikan secara implisit melalui tokoh-tokoh dalam novel.
Terlepas dari selera saya, Manuskrip Accra tetaplah bacaan yang bergizi. Banyak ilmu serta pencerahan-pencerahan yang sebenarnya tak lekang oleh waktu. Penting untuk diketahui banyak orang. Seandainya teks dalam Mansukrip Acrra ini terang-terangan disebut sebagai kitab suci maka lima bintang dari saya. Karena bukan, maka tiga bintang rasanya cukup. Maksimal tiga setengah, deh.
Terakhir, seandainya saya bisa bertemu Coelho, hal pertama yang akan saya tanyakan adalah, “Nggak berniat bikin agama baru, Om?”
***