Baru-baru ini saya membaca tiga novel dengan topik serupa dalam waktu yang berdekatan. Ketiganya mengedepankan seorang tokoh ajaib, hidupnya dilingkupi unsur magis, dan kisahnya menjadi semacam legenda yang diceritakan berulang-ulang. Buku pertama, membuat saya terpukau. Selain jalinan kalimatnya yang sangat saya nikmati, kisah si tokoh utama membuat saya menganga. Kok ada orang seajaib itu? Buku kedua, membuat saya terkesan. Pada saat yang sama, saya mengingat bahwa ada elemen-elemen di buku kedua yang mirip dengan elemen-elemen yang ada di buku pertama. Akibatnya, meski sama berkualitasnya, buku kedua menimbulkan efek “wow” yang lebih rendah dibandingkan buku pertama. Ada nuansa pengulangan. Di buku ketiga, pengulangan itu terjadi lagi. Sebesar apa pun kesukaan saya terhadap (kegiatan) membaca, membaca tiga buku yang memiliki napas serupa dalam waktu berdekatan ternyata bisa juga bikin bosan.
Buku pertama memberi saya kepuasan tertinggi, buku ketiga memberi kepuasan terendah. Bila ditarik ke ilmu ekonomi, penurunan kepuasan karena peningkatan jumlah buku (serupa) yang saya baca dikenal dengan istilah The Law of Diminishing Marginal Utility.
Lo kok urusan hobi baca dikait-kaitkan dengan ilmu ekonomi? Tentu saja karena pemilik hobi baca yang satu ini adalah sarjana ekonomi iseng membaca buku ekonomi. :))
Yup, The Undercover Economist karangan Tim Harford (saya membaca edisi kedua yang terbit tahun 2006) mengajak pembaca melihat kejadian sehari-hari dari sudut pandang ilmu ekonomi. Lebih tepatnya, mengajak pembaca memahami teori-teori ekonomi menggunakan kejadian sehari-hari sebagai contoh/ilustrasi. Saya menduga hal tersebut merupakan upaya membumikan ekonomi kepada yang awam. Untuk tujuan itu, Harford lumayan pandai mengemas berbagai teori ekonomi dengan bahasa sederhana nan menarik. Misalnya saja, bab pertama yang diberi judul ‘Who Pays for Your Coffee?’. Bagi saya judul ini menarik karena kopi merupakan tren. Tidak berlebihan juga mengatakan bahwa kopi sudah menjadi item fesyen di kalangan masyarakat —yang kalau dipadukan dengan puisi, senja, dan Hindia jadilah starter pack anak indie. Ketika membaca judul bab tersebut untuk pertama kali, pertanyaan pun muncul di benak. Ya, saya bayar sendiri dong kopi yang saya minum. Memangnya siapa yang bayar kalau bukan saya? Salut dengan pilihan judul yang relatable dan serta merta memantik rasa penasaran.
Lalu, apa yang dibahas di bab tersebut? Tidak lain tidak bukan yaitu teori kelangkaan (scarcity), teori yang sangat mendasar dalam ekonomi.
Dari teori kelangkaan, pembahasan pun bergeser ke topik eksternalitas, kegagalan pasar, perbankan/moneter, fair-trade, dan berakhir di topik negara miskin vs negara kaya. Benar, semakin lama topik yang dibahas memang semakin serius. Setelah membaca sampai halaman terakhir, sah untuk bilang buku ini cocok dibaca oleh mereka yang sedang atau berencana kuliah ekonomi. Tentu saja, buku ini bukan buku paket (textbook), melainkan buku pendamping yang membuat pelajar lebih mudah memahami buku paket yang biasanya agak kaku. Selain itu, buku ini lebih cocok untuk orang yang memang punya ketertarikan terhadap topik ekonomi daripada yang sedang coba-coba belajar ekonomi.
“One of the reasons why Starbucks offers frills like whipped cream and flavoured syrup is to persuade customers to reveal whether or not they are price conscious.” p.135
Balik lagi ke pembaca yang iseng memilih buku ekonomi untuk mengisi waktu luang. Produsen atau pedagang saat ini tidak selalu menentukan harga jual semata-mata dari modal yang dihabiskan untuk memproduksi barang sebagaimana cara-cara tradisional. Dunia ekonomi sudah mengenal yang namanya “behavioral economics”, lini ekonomi yang mempelajari faktor psikologis, emosi, dan sosial budaya yang memengaruhi konsumen dalam membuat keputusan-keputusan ekonomi. Memanfaatkan hal tersebut, pedagang bisa saja menetapkan harga lebih tinggi dari harga jual biasanya. Konsumen yang tidak keberatan membayar lebih mahal, dalam konteks ini, dianggap sebagai konsumen yang buta harga (price-blind). Iya, saya termasuk dalam kategori ini. Kegiatan konsumsi saya lebih sering didasarkan pada keinginan, bukan kebutuhan. Tidak masalah bagi saya membeli tambahan barang —yang sebenarnya tidak terlalu saya butuhkan, dan mengeluarkan uang lebih banyak dari yang seharusnya. Sebaliknya, konsumen yang cermat mempertimbangkan harga barang dianggap sensitif harga (price-sensitive).
Bagaimana kalau ada kondisi seperti ini? Penulis favorit kita akan menerbitkan buku baru dan hanya dijual melalui jaringan toko buku favorit. Buku tersebut ditawarkan dalam beberapa pilihan sebagai berikut:
1. Buku
2. Buku, plus pernak-pernik (merchandise) edisi terbatas
3. Buku, pernak-pernik edisi terbatas, plus diskon 50% keanggotaan di toko buku favorit dengan keistimewaan beragam
Harga jual paket satu tentu yang paling murah dan harga jual paket tiga tentu yang paling mahal. Mengingat ini adalah karya terbaru penulis favorit dan toko buku favorit (efek psikologis) saya akan membeli paket tiga. Kalian pilih yang mana?
Pilihan kalian, secara tidak langsung, menunjukkan posisi kalian sebagai konsumen yang buta harga atau sensitif harga.
Memahami cara kerja ekonomi sebenarnya menarik. Terlebih lagi kalau menyangkut kehidupan sehari-hari. Ketika melihat sebuah produk, kacamata detektif ekonomi, sebagaimana harapan Harford ketika menulis buku ini, akan melihat bahwa sebuah produk merupakan output dari proses yang panjang dan sistem yang kompleks. Namun, paham atau tidak kita akan teori ekonomi dalam praktiknya di keseharian, tidak serta merta menjadi penanda sikap kita dalam mengonsumsi sesuatu (ingat behavioral economics). Kita tetap bisa menjadi konsumen yang buta harga ataupun sensitif harga. Hanya saja, orang yang cukup paham ekonomi akan menjadi konsumen buta harga yang menyadari bahwa ia sedang berada di bawah kendali produsen/pedagang hawa nafsu.
“In the end, economics is about people. And economic growth is about a better life for individuals —more choices, less fear, less toil and hardship.” p.289
***