Kredit:
Tulisan berikut ini diolah dari beberapa tulisan Jason Black bertema point of view di blog Plot to Punctuation. Jika kalian nyaman membaca tulisan panjang berbahasa Inggris, silakan baca artikel aslinya di sini dan di sini.
*
Sebagai penulis, jika kalian memilih menggunakan sudut pandang orang pertama (first-person point of view —POV1), secara tidak langsung kalian ingin pembaca masuk ke dalam kepala karakter. Atau bahasa kerennya, kalian berharap pembaca ‘berdiri di sepatu’ si karakter. POV1 adalah cara paling ampuh untuk memengaruhi kepala pembaca agar ‘sepakat’ dengan pilihan-pilihan si karakter karena (seharusnya) memberi gambaran yang lengkap mengenai tindakan dan alasan tindakan tersebut dilakukan. Pilihan ini yang kadang membuat pembaca ‘membela’ tokoh antagonis. Ketika karakter antagonis diceritakan menggunakan POV1, pembaca jadi merasakan empati yang lebih mendalam.
Sebaliknya, kalau kalian memilih sudut pandang orang ketiga (third-person point of view — POV3), secara tidak langsung kalian lebih ingin pembaca melihat segala yang karakter lihat alih-alih menjadi si karakter. Implikasinya, ketika penulis berkomentar mengenai perasaan atau pemikiran karakter, itu bukanlah perasaan/pemikiran karakter melainkan milik penulis. Kalau kalian sudah memutuskan menggunakan POV3 tetapi mau memasukkan komentar/sikap/pemikiran/konsep tertentu ke dalam si karakter, maka lakukan itu melalui dialog, bukan melalui narasi. Kalau tidak pandai melakukannya, maka upaya memasukkan isi kepala penulis ke karakter terasa sebagai sesuatu yang mengganggu. Kalau mau aman, jadilah narator yang netral dengan cara tidak memasukkan ke dalam narasi emosi penulis yang dimaksudkan sebagai emosi si karakter.
Mantra sakti penulis yang menggunakan POV3 adalah, “Pembaca harus melihat semua kejadian penting di semesta cerita ini.”
Saya nggak bahas sudut pandang orang kedua (second-person point of view — POV2) terlalu mendalam karena tergolong jarang digunakan. Yang paling penting untuk diketahui tentang POV2 yaitu kalian sebagai penulis bercerita mengenai si karakter di depan karakter aslinya. Jadi seolah-olah kalian menceritakan ulang segala pengalaman yang pernah dialami oleh si karakter.
Apa efek pemilihan sudut pandang ke cara bercerita?
Pertama, jangkauan informasi yang dapat diungkapkan. Pada POV3-terbatas (POV3 yang berfokus pada satu karakter di satu waktu), penulis memang memperlihatkan banyak hal kepada pembaca namun tetap terbatas hanya pada yang berkaitan langsung dengan karakter yang sedang dibahas. Pada POV3-tahu-segalanya, penulis bisa bercerita lebih luas. Bisa agak melompat dari satu topik ke topik lain asalkan berguna bagi cerita. Jadi, menggunakan POV3-tahu-segalanya tidak sama dengan ngomong ngalor ngidul. Keluasan informasi dalam cerita akibat penggunaan POV3 menyebabkan pendalaman karakter jadi terbatas. Bukan 100% trade-off, tetapi kecenderungan ya demikian. Menggunakan POV3, khususnya POV3-tahu-segalanya, memunculkan pilihan untuk mengorbankan empati terhadap karakter.
Mantra sakti penulis yang menggunakan POV1 adalah, “Pembaca hanya bisa melihat kejadian yang dilihat oleh karakter yang sedang dibahas.”
Kedua, gaya bahasa. POV3 berarti menggunakan gaya bahasa penulis. Dalam dialog, barulah gaya bahasa si karakter muncul. Pada POV3 seyogyanya kalian tidak bicara menggunakan gaya bahasa si karakter di luar dialog. Pilihan menggunakan POV3 memunculkan jarak tersebut.
Ketiga, fokus pembaca. POV3 memungkinkan pembaca memperhatikan hal-hal yang perlu diketahui melalui narasi penulis. Sedangkan penggunaan POV1 memungkinkan pembaca memperhatikan hal-hal yang menarik perhatian si karakter. Sebagai contoh, deskripsi seting tempat berupa sebuah rumah. POV3 yang menyebutkan sebuah rumah dapat melanjutkan deskripsi ke sesuatu yang bersifat global atau spesifik tergantung kebutuhan cerita. Di sisi lain, POV1 akan mengarahkan fokus pembaca pada bagian tertentu di rumah tersebut yang dapat mendukung pemikiran, tujuan, kesukaan si karakter, atau terkait dengan upaya penyelesaian konflik dalam cerita menurut si karakter. Kadang hal ini jadi trik juga, penulis cerita misteri memakai POV1 untuk bisa menyamarkan/menyembunyikan petunjuk.
The Architecture of Love
Kenapa tiba-tiba saya membahas tentang sudut pandang? Sesuatu yang sangat mendasar, yang barangkali sudah dipahami di luar kepala oleh banyak penulis? Ini sebabnya.
Di halaman-halaman awal novel, cerita bergerak di sisi Raia. Sudut pandang yang digunakan adalah POV3. Meski menggunakan POV3, narasi yang digunakan oleh Ika Natassa sangat POV1 sekali (notice the ‘sangat’ dan ‘sekali’ dalam satu kalimat). Meski penulis menyebut Raia dengan Raia, bukan ‘aku’, sebagai pembaca saya seperti tidak bisa membedakan antara penulis dan karakter. Tembok yang seharusnya ada sebagai akibat pilihan penggunaan POV3, hilang. Memang ada yang namanya POV3-terbatas tetapi tetap saja bagian Raia ini seperti POV1. Pertanyaan yang muncul adalah, “Akankah ada bedanya bila sisi Raia diceritakan pakai POV1?”
Oke, setelah beberapa halaman saya pun mulai terbiasa dengan cara penceritaan di sisi Raia. Di bagian selanjutnya, rasa terbiasa tersebut buyar lagi. Ini karena cerita berpindah ke tokoh River dan cerita River disampaikan menggunakan POV1.
Raia yang diceritakan menggunakan POV3 tapi terasa sangat POV1, lalu disambung dengan River yang diceritakan menggunakan POV1. Entah dengan pembaca lain, saya merasa agak terganggu dengan perubahan sudut pandang macam ini. Maksud saya, kalau memang karakter dan pembaca menjadi sama-sama sedekat ini baik pada POV1 maupun POV3, apa gunanya penggunaan POV yang berbeda? Sekali lagi, akankah ada bedanya bila sisi Raia diceritakan pakai POV1?
Setelah membaca habis TAOL, berikut simpulan yang saya buat sekenanya. Pertama, entah sadar atau tidak, Ika Natassa bertujuan untuk membuat pembaca lebih relate dengan situasi River. Hence, POV1 untuk River. Kedua, POV3-terbatas yang digunakan untuk Raia, well, kelewat batas. Ketiga, Ika Natassa berupaya terlalu keras untuk memasukkan pemikiran/konsep/prinsip pribadinya ke karakter Raia karena, ingat, narasi di luar dialog karakter pada POV3 sejatinya adalah isi kepala penulis.
Sebagai penulis tentu kalian bisa mengabaikan semua teori dan bersikap yang-penting-pembaca-bisa-merasakan-apa-yang-karakter-rasakan-dan-ikut-berada-dalam-dunia-cerita. Kalau itu yang jadi fokus utama kalian sebagai penulis, maafkan saya karena telah membuang sembilan menit kalian yang berharga.
***
Ulasannya bagus. Memang secara umum penggunaan pov3 dalam cerita akan menciptakan jarak dengan pembaca. Sementara jika menggunakan pov1 efeknya minim informasi yang bisa disampaikan ke pembaca.
Sula nulis fiksi juga, Kak?
Di blog ini, aku post beberapa cerpen karyaku. Menulis jadi hobi yang sudah lama sekali nggak aku kerjakan. Huhu… Lebih enak baca nggak sih? Lebih nggak terbeban, cuma bertugas menikmati aja.