Bodo Amat dengan Buku Motivasi

(semacam ulasan)

Teman-teman saya di Twitter atau Instagram pasti sudah sering membaca twit/stories yang berisi ungkapan kekecewaan saya perkara perkuliahan. Singkatnya, ungkapan-ungkapan tersebut membuat  sadar bahwa saya berada di bawah pengaruh merasa-lebih-baik-dari-pihak-lain. Dengan kata lain, merasa diri superior.

Cerita kedua adalah soal menjadi anggota merchant tertentu. Sebagai pemegang keanggotaan VIP, saya kerap berharap mendapat perlakuan istimewa semisal dilayani lebih dahulu melalui jalur khusus (tanpa antre). Dulu, fasilitas jalur khusus ini memang ada. Sepertinya, bertambah ramainya konsumen sekaligus anggota VIP membuat layanan ini ditiadakan. Namun, saya menolak move on. Setiap kali datang ke merchant tersebut, saya mencari seorang pegawai dan menanyakan fasilitas VIP, khususnya ketika sedang kepepet. Tentu saja tindakan tersebut berujung kecewa. Di poin ini, saya menyadari bahwa saya menempatkan diri sebagai orang penting.

Merasa superior untuk hal remeh macam urusan perkuliahan dan merasa diri sebagai orang penting adalah ‘racun’ bagi Mark Manson, selain menetapkan target yang terlalu tinggi.

Dalam buku pengembangan diri berjudul Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat (untuk selanjutnya disingkat menjadi Bodo Amat) yang ditulis olehnya, Mark Manson seolah mengingatkan pembaca untuk kembali membumi. Misal, keinginan untuk mencapai bintang di langit tidaklah salah, tetapi target yang terlalu tinggi sering terbatas oleh motivasi semu serta ilusi terkait kemampuan diri. Mark pun mengingatkan pembaca untuk hanya fokus pada hal yang benar-benar penting bagi hidup kita. Setelah itu, bodo amat dengan pendapat orang lain, bodo amat dengan hal-hal remeh yang biasanya membuat kita marah dengan mudah, bodo amat dengan semua hal yang kerap mengalihkan perhatian kita dari upaya mencapai tujuan.

*

Menyoal buku motivasi, pengembangan diri, self-help book, atau apa pun sebutannya, rasanya sudah lama sekali saya tidak membaca buku genre ini. Bertahun-tahun yang lalu saya meninggalkan berbagai jenis Chicken Soup, How to Win Friends and Influence People, Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya, dan sebagainya. Harus diakui, memang pernah ada masa ketika saya menganggap bahwa self-help book terasa terlalu menggurui dan itu mengesalkan. Karenanya, saya lebih memilih novel dan belajar dari pengalaman berbagai tokoh dan karakternya. Padahal kalau dipikir-pikir, novel adalah (buku) pengembangan diri dalam bentuk yang lebih halus. Coba baca kutipan novel yang saya unggah di Instagram. Semua itu, ya, kalimat motivasi! Saya pribadi kadang menganggapnya sebagai #lifeguide.

Berikutnya, berbagai pertanyaan pun muncul. Apakah saya membutuhkan buku motivasi? Pada kondisi seperti apa saya butuh motivasi dalam bentuk bacaan? Mana yang lebih baik, membaca buku motivasi atau konsultasi langsung ke ahlinya (baca: psikolog)? Menurut adik saya yang sarjana psikologi, jawaban untuk ketiga pertanyaan tersebut adalah, “Tergantung kebutuhan.” Ada sebagian pembaca dengan masalah motivasi yang bisa diselesaikan melalui membaca buku. Namun ada juga orang-orang yang memiliki kasus lain yang membuatnya merasa memerlukan bantuan psikolog.

Bisakah kalian menentukan kondisi diri kalian sendiri?

Adapun hal penting yang membedakan kedua media tersebut adalah hal yang ditawarkan. Kecil kemungkinan seorang psikolog memberikan solusi secara langsung. Sesi konsultasi lebih diarahkan untuk memperdalam pemahaman pasien mengenai masalah yang dialaminya, mengarahkan cara pandang yang sesuai untuk masalah tertentu, hingga memantik solusi yang datang dari kesadaran pasien sendiri. Hal berbeda ditawarkan oleh buku motivasi. Solusi lugas adalah konten yang ‘dijual’. Bahkan di bab pertama Bodo Amat, Mark Manson langsung menawarkan solusi yang berbunyi, “Jangan berusaha!”

Tidak, saya tidak menempatkan buku motivasi di level yang lebih rendah dibandingkan konsultasi kepada ahli. Yang ingin saya sampaikan adalah lakukan sesuatu sesuai kebutuhan, cari media yang menurut kalian tepat untuk mengatasi masalah. Tindakan ‘sesederhana’ curhat ke teman pun bisa jadi solusi jitu. Media yang berbeda untuk masalah yang berbeda sangatlah dimungkinkan.

Kembali ke buku Bodo Amat, bagi saya membaca buku motivasi lagi setelah sekian lama adalah tindakan yang tepat dan perlu. Ibarat layang-layang, buku ini adalah tali yang menarik kita kembali membumi, untuk istirahat sejenak sebelum terbang lagi. Ketika sedang berada di darat, manfaatkanlah waktu untuk melihat (dan mensyukuri) pencapaian hingga saat ini, mempertimbangkan lagi rencana selanjutnya, serta meyakinkan diri sendiri mengenai standar/nilai/motivasi yang mendasari upaya untuk mencapai tujuan tertentu. Setelah cukup istirahat dan memiliki persiapan terbang yang lebin matang, itulah saatnya kita bersikap bodo amat dengan semua drama di luar rencana.

***

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s