Buku Pilihan Tahun 2020

Tapi pagi saya baca salah satu twit dari akun Goodreads. Twit tersebut berupa pertanyaan yang terjemahannya kurang lebih berbunyi, “Apakah tahun 2020 mengubah kebiasaan baca kalian?”

Sempat berpikir beberapa menit, dan jawaban saya adalah tidak. Artinya, kegiatan membaca saya selama tahun 2020 ini masih sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Saya masih membaca buku yang ingin saya baca saat itu (baca: impulsif), masih baca buku yang mayoritas terbitan lama, masih tidak membuat daftar khusus, juga tidak ikut tantangan baca mana pun (khusus yang terakhir, mungkin akan coba suasana baru di 2021). Singkatnya, saya masih baca suka-suka, sebisanya, sesempatnya.

Pun ketika membuat daftar ini. Daftar kesekian yang saya buat sebagai rangkuman kegiatan membaca selama setahun. Dibuat sebagai pengingat buku-buku bagus, penting, menarik, dan barangkali ingin dibaca kembali di kemudian hari. Dibuat, juga dengan harapan bisa menjadi rekomendasi bacaan bagi pembaca tulisan ini. Menarik sekali kalau ada yang berkomentar, “Oiya, saya lupa belum baca buku itu (salah satu buku dalam daftar di bawah).” atau “Wah, saya juga suka banget dengan buku ini.”, dan sebagainya. Menemukan orang yang punya kesukaan yang sama selalu menyenangkan, khususnya di tahun yang penuh ketidakpastian ini.

Baca juga: Buku Pilihan Tahun 2018

Oke, berikut ini daftar buku yang saya baca sepanjang tahun 2020 dan meninggalkan kesan yang baik. Saya pilih sembilan buku, seperti biasa, yang diupayakan bervariasi dari segi genre, tahun terbit, dan topik yang diangkat. Semoga ada satu dua buku yang sekiranya cocok dengan selera lalu masuk daftar baca kalian untuk tahun depan.

*

Pelukis Bisu (The Silent Patient) – Alex Michaelides (GPU, 2019)

Bergenre thriller psikologis, Pelukis Bisu sangat mudah menjadi favorit banyak pembaca. Nggak heran kalau novel ini memenangkan Goodreads Choice Award 2019 untuk kategori Mystery & Thriller. Dengan bahasa yang ringan, saya seperti tidak sedang membaca cerita pembunuhan. Page turner banget. Akhirnya menemukan novel yang berhasil bikin menganga ketika sampai di halaman terakhir. Bukan semata-mata karena twist dari sisi cerita, melainkan twist dari sisi penyajian.

Kura-Kura Berjanggut – Azhari Aiyub (Banana, 2018)

Pilihan ini mewakili satu buku yang  saya masukkan daftar karena politically correct. Selain menang Kusala Sastra Khatulistiwa Tahun 2018 kategori prosa, novel ini juga mencatat sejarah dengan sangat baik. Cerita mendetail, tokoh menarik, dan di bagian akhir disertai dengan artikel pendukung. Tambahan ensiklopedia untuk kekayaan Indonesia. Sudah tahu Bandar Lamuri itu letaknya di mana, kan?

The Rosie Effect – Graeme Simsion (GPU, 2018)

Bergenre roman, The Rosie Effect berhasil mengikuti jejak pendahulunya (The Rosie Project) sebagai buku pilihan tahunan saya. Cerita cinta yang mengedepankan keunikan tokoh utamanya ini, masih menarik untuk disimak. Alur logika Don Tillman yang exceptional membuat arah cerita menjadi penuh kejutan. Semoga buku ketiga (The Rosie Result) dari seri Don Tillman ini segera diterjemahkan oleh Gramedia. Mungkin akan masuk daftar buku pilihan saya untuk tahun 2021. Who knows?

To Kill a Mockingbird – Harper Lee (Hachette Book, 2010)

Karya klasik yang terbit pertama kali tahun 1960, secara mengejutkan (halah), masih sangat bisa dinikmati di tahun 2020. Pantas saja novel ini masuk di hampir semua daftar buku-wajib-baca-sebelum-kamu-mati atau semacamnya. Mengambil seting di zaman ketika pembedaan warna kulit masih keras terasa, muncul seorang pahlawan kemanusiaan bernama Atticus Finch. Pengacara yang tergerak untuk membela kaum kulit hitam, bukan karena warna kulit mereka, melainkan karena mereka benar dan berhak mendapat keadilan. Bisa dibilang, Atticus Finch menetapkan standar yang cukup tinggi mengenai cara-cara dalam memperlakukan sesama manusia, terlepas dari perbedaan ras.

Call Me By Your Name – Andre Aciman (Farrar, Straus and Giroux, 2008)

Satu-satunya novel roman menye-menye cinta-cintaan yang nggak bisa saya komplain. Seratus persen melodramatis, delapan puluh persen romantis. Elio remaja yang meledak-ledak, Oliver dewasa yang logis dan realistis. Meski memandang hidup dan cinta dengan cara yang berbeda, mereka cocok. Bahkan bisa bikin saya mengalami book hangover. Selama beberapa hari setelah pembacaan pertama, saya masih buka halaman demi halaman secara random. Rasanya masih belum rela keluar dari dunia mereka.

Polisi Kenangan (The Memory Police) – Yoko Ogawa (GPU, 2020)

Yoko Ogawa menuliskan sebuah fantasi tentang kenangan, kehilangan, sekaligus pengekangan. Di dunia tersebut terdapat Polisi Kenangan yang bertugas memastikan segala sesuatu yang hilang tetap hilang. Tidak hanya hilang secara fisik, tetapi juga hilang dari ingatan manusia. Terbit pertama kali tahun 1994, novel ini memberikan nuansa yang serupa dengan Rumah Perawan (Yasunari Kawabata). Keduanya menggambarkan adanya upaya sekaligus keputusasaan di masa-masa menjelang semuanya akan berakhir. Ketika banyak hal pada akhirnya akan hilang, pertanyaan besar yang muncul, “Sebenarnya, apa yang sedemikian berarti di hidup ini, hingga terasa penting untuk dipertahankan?”

Akhir di Antara Kita (It Ends With Us) – Colleen Hoover (GPU, 2019)

Topik KDRT menjadi muatan utama di novel karya Colleen Hoover yang ini. Perjuangan korban KDRT untuk keluar dari hubungan beracun coba digambarkan dari beberapa sudut karena memang kondisinya nggak selalu hitam putih. Upaya yang dramatis tapi penyajiannya nggak drama.

A Monster Calls – Patrick Ness (Walker Books, 2015) 

Sebuah dongeng mengenai keikhlasan untuk mengakui kesedihan. Yup, banyak orang yang nggak mau mengaku ketika merasa sedih. Senantiasa menganggap segalanya baik-baik saja padahal tahu ada yang salah. Berusaha menutup mata alias denial. Melalui sosok monster, Patrick Ness mengingatkan bahwa memendam perasaan nggak selalu benar, bahwa pelampiasan emosi itu juga penting, termasuk (emosi) kesedihan. Sudahkah kalian bersedih hari ini? #eh

Rainbirds – Clarissa Goenawan (GPU, 2020)

Kejutan manis untuk tahun 2020 datang dari Rainbirds. Buku yang nggak disangka-sangka ternyata masuk jajaran favorit. Dengan jalinan kalimat yang indah dan mendayu, pembaca akan diajak menguak misteri di balik kematian Keiko Ishida. Seting Jepang yang meyakinkan, misteri yang menarik perhatian, serta muatan sosial yang relevan menjadikan novel ini layak diperhitungkan sebagai literatur asia pilihan. Sangat bisa jadi pilihan bagi kalian yang pengin baca literatur asia. Segar.

***

[The Perks of Being a Wallflower] Surat untuk Charlie

*

Dear, Charlie.

Masa lalu yang buruk memang begitu, ia suka berdiam lama dalam kepala dan menakut-nakuti diri kita untuk melangkah ke masa depan. Bahkan, menakut-nakuti diri kita ketika menjalani saat sekarang. Yang saya tahu, seberapa kuat masa lalu memengaruhi kita ditentukan oleh seberapa kuat diri kita untuk melawannya.

Iya. Awalnya saya pikir bahwa masa lalu itu perlu dilawan.

Dan setelah membaca surat-suratmu, saya tahu bahwa masa lalu bukan untuk dilawan melainkan diterima lalu dijadikan kawan. Apalagi oleh orang yang berperasaan halus sepertimu. Melawan (baik dengan kekerasan fisik atau kata-kata), tentu menjadi pilihan terakhirmu untuk menyelesaikan masalah. Saya setuju.

Mengenai ‘melawan’ saya sempat terkejut ketika kamu membela Patrick sedemikian hebat hingga membuat semua orang seperti tak percaya. Orang yang terlihat lemah dan cengeng ternyata bisa mengayunkan tinju. Wow!

Sampaikan salam saya kepada Patrick, dan Sam. Mereka adalah tipe sahabat yang juga ingin saya miliki. Setia, menerima apa adanya, membuat kamu merasa lebih baik. Membuat kamu merasa bahwa kamu tidak sendirian, khususnya ketika orang-orang menganggapmu aneh. Bersyukurlah karena kamu punya mereka.

Charlie, kita tahu bahwa tidak semua orang bisa diajak bicara. Sehingga menemukan seseorang yang bisa dijadikan teman bicara seperti mendapatkan hadiah tanpa kita minta. Saya menganggap kamu teman, kalau kamu tak keberatan. Saya suka mendengar cerita-ceritamu. Kamu menyampaikannya dengan jujur dan sederhana. Sesuatu yang sulit ditemui belakangan ini. Tetaplah menulis cerita-cerita yang membuat saya tersenyum, merenung, dan cerita-cerita tabu (yang takut dibicarakan oleh orang lain). Tabu seperti masturbasi, minuman keras, obat-obatan terlarang, dan pelecehan seksual yang kerap terjadi di depan mata tetapi seringnya tak disadari. Saya perlu merasa bahwa dunia ini tidak baik, tidak sebaik yang didengungkan. Sulit untuk melihat adanya perubahan ke arah yang lebih baik ketika semua orang menganggap segala sesuatunya sudah baik.

Sebagai orang yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata, kamu pasti paham maksud saya. Saya yakin itu.

Tetaplah menulis, tetaplah jujur. Tetaplah berusaha menyenangkan semua orang. Namun, kali ini dengan tambahan: jangan lupa untuk juga menyenangkan diri sendiri. Bukankah bahagia itu untuk dibagi? Dan berbagi berarti kamu juga mendapat bagian.

Tetaplah menyukai Sam, terkadang memiliki seseorang untuk disukai membuat kita waras. Tetaplah berharap kabar darinya meski kini kalian terpisah jarak. Tetaplah menjaga perasaan-perasaan dan orang-orang yang menurutmu penting. Jangan biarkan orang lain membuatmu melakukan apa yang tak kamu kehendaki. Tetaplah menjadi seseorang yang bebas.

Charlie, meskipun kamu mengucapkan salam perpisahan di suratmu yang terakhir, kamu tahu saya akan tetap di sini. Membaca buku-buku yang kamu suka, sembari menunggu cerita-ceritamu tentang buku-buku yang lain. Ah, betapa banyak yang bisa saya ambil dari kamu. Semoga begitu juga sebaliknya.

Untuk itu, saya berterima kasih tetapi saya tetap menunggu.

Love,

M

***

img_0052

Tulisan di atas adalah semacam review untuk novel The Perks of Being a Wallflower – Stephen Chbosky (MTV Books and Pocket Books, 1999), yang baru saja diterbitkan dalam Bahasa Indonesia oleh penerbit Kepustakaan Populer Gramedia (KPG). Akhirnyaaa…

***

Keiko Furukura Bicara Normal yang Ideal

 

“Dunia normal adalah dunia yang tegas dan diam-diam selalu mengeliminasi objek yang dianggap asing. Mereka yang tak layak akan dibuang.”

Bagi saya, kutipan dari halaman 82 novel Gadis Minimarket karya Sayaka Murata di atas merupakan ide awal novel tersebut. Namun, keseluruhan novel lebih dari sekadar Keiko yang merasa abnormal mencoba berbaur di dunia yang dianggap normal.

Setidaknya ada tiga gambaran mengenai konsep normal yang disampaikan penulis melalui berbagai karakternya. Pertama, Keiko yang merasa normal dalam keabnormalannya. Kedua, Shiraha yang berusaha menggugat terminologi normal. Ketiga, masyarakat yang hidup dalam konsepsi normal yang mereka pelihara secara turun temurun.

Baca juga: Agama baru Paulo Coelho

(Ab)normal versi Keiko adalah bekerja paruh waktu di minimarket. Semakin menjadi pertanyaan/kekhawatiran ketika Keiko menjalani pekerjaan tersebut selama belasan tahun. Masyarakat bertanya-tanya, “Apa tidak ada pekerjaan lain?’ atau “Apa tidak berniat mencari pekerjaan tetap?” Yup, bekerja paruh waktu dianggap kelas dua. Sesuatu yang tidak serius. Bersifat jangka pendek alias menunjukkan minimnya perencanaan akan masa depan. Selain itu, penghasilan yang didapat sebagai pekerja paruh waktu dianggap tidak cukup untuk membiayai hidup berumah tangga. Oh, Keiko memang tidak berencana untuk berumah tangga. Mungkin ini yang membuat ia nyaman dengan penghasilan dari pekerjaan paruh waktu. Sayangnya, perasaan nyaman tersebut justru menambah kadar keabnormalan Keiko di mata masyarakat. Keiko adalah satu dari banyak perempuan yang kerap diberondong pertanyaan “Kapan?” di acara kumpul keluarga.

Ada feminis yang mau berkomentar?

Fakta bahwa karakter Keiko adalah perempuan dan bekerja paruh waktu adalah pilihan yang ia ambil secara sadar, menunjukkan upaya yang manis dari penulis untuk menjelaskan (kampanye mendukung) feminisme dengan cara yang mudah dipahami. Perempuan memiliki hak untuk menentukan pilihan.

Tentu saja uraian di atas merujuk pada Keiko dewasa, ya. Makanya gambaran mengenai masa kecil Keiko agak sia-sia di novel ini. Tiga kejadian yang diceritakan, yang sepertinya bertujuan untuk menjelaskan keabnormalan Keiko dewasa, terasa sedikit off. Keiko kecil di kejadian-kejadian tersebut lebih cocok tumbuh menjadi seorang pembunuh berantai, bukan perempuan yang renjananya bekerja di minimarket.

Meski Keiko yang menjadi tokoh sentral, karakter paling menarik justru Shiraha. Gambaran masyarakat toxic diringkas dengan baik oleh Shiraha melalui keluhan-keluhannya, juga melalui pilihan sikapnya. Sebagai laki-laki, ia merasa terjebak dalam stereotip bahwa laki-laki yang harus bekerja dan membiayai kehidupan rumah tangga. Memang dasarnya Shiraha ini pemalas, ya. Ia malah bertingkah layaknya korban peradaban, tanpa berusaha melawan dengan secuil pun tindakan. Dia justru menjadi parasit dalam masyarakat toxic yang ia keluhkan.

“Jadi, kau tak suka orang lain mencampuri hidupmu, tapi memilih jalan hidup yang tujuannya membungkam orang-orang yang mengomentarimu?” hlm. 90

Melalui dua karakter tersebut, bisa dibilang bahwa Sayaka Murata berusaha adil dengan melihat dari dua sisi. Ternyata tidak cuma perempuan yang bisa merasa abnormal di peradaban modern yang belum banyak berubah sejak Zaman Jomon. Ternyata ada juga laki-laki yang merasa tidak nyaman berada di bawah payung laki-laki-harus-jadi-tulang-punggung-keluarga. Rasanya, pembaca laki-laki bisa terhubung dengan karakter Shiraha dan pembaca perempuan dengan karakter Keiko.

Masyarakat toxic yang dikeluhkan Shiraha memang masyarakat yang bisanya cuma nurut. Konsep warisan generasi sebelumnya tertanam di kepala mereka dan menjadi kebenaran absolut. Perempuan (juga laki-laki) harus bekerja penuh waktu, pacaran, menikah, punya anak. Itulah yang disebut normal. Ketika Keiko menunjukkan tanda-tanda ke arah tersebut, masyarakat beramai-ramai memberi selamat, menunjukkan kelegaan, turut berbahagia. Untuk sejenak, Keiko bisa terbebas dari pandangan abnormal. Namun, hanya sejenak. Karena ternyata masyarakat tidak mudah terpuaskan.

Tidak ada satu pun karakter di novel ini yang mendukung dengan tulus pilihan yang diambil oleh Keiko. Shiraha? Tidak juga. Keiko benar-benar seperti buruan dan diserbu dari berbagai sisi.

Yah, pada akhirnya, masing-masing orang senantiasa berjuang menemukan zona normal. Ada yang bertahan pada prinsip pribadi, ada juga yang menyerah pada pandangan masyarakat. Bagi Keiko, normal berarti menjadi pegawai minimarket. Caranya mudah, katanya di halaman 93, pakai seragam dan bertindak sesuai buku panduan. Untungnya, penulis secara halus menggugat konsep normal masyarakat melalui sebuah pertanyaan yang disampaikan tokoh Keiko.

“Apakah punya anak baik untuk umat manusia?”

***