Masih jelas di ingatan saya ketika awal-awal masuk kelas yoga di tahun 2014. Semua orang terlihat sudah terbiasa melakukan (gerakan) yoga dan menguasai pose-pose tertentu. Saya juga masih ingat bagaimana instruktur mengarahkan kami untuk melakukan headstand dengan bertumpu pada dinding. Ketika itu, saya bahkan tidak bisa menyentuhkan punggung ke dinding, apalagi menaikkan kaki. Setelah sekian waktu mengikuti kelas yoga, sebuah kepercayaan pun terbentuk. Bahwa semakin sering kita berlatih, maka semakin ahli kita menguasai pose sulit. Bahwa target saya ialah bisa melakukan pose yoga A, pose yoga B, lalu pose yoga C. Penguasaan pose menjadi lebih penting daripada hal lainnya.
Belakangan, fokus saya teralihkan. Saya mengikuti pelatihan yoga yang mengupas yoga sebagai sebuah tradisi. Bahwa yoga tidak hanya soal asana, tetapi juga soal banyak aspek dalam kehidupan sehari-hari. Sumber ajarannya adalah Yoga Sutra yang dikembangkan oleh Patanjali. Dalam teks tersebut dikatakan bahwa terdapat delapan langkah mendasar yang bisa kita lakukan untuk hidup yang lebih bermakna hingga tercapai pencerahan. Delapan langkah tersebut dikenal dengan istilah ashtanga (ashta=delapan, anga=langkah, jalur), dan terdiri dari yama, niyama, asana, pranayama, pratyahara, dharana, dhyana, dan samadhi. Yama merujuk pada sikap kita sehari-hari, semacam kode etik dalam bertingkah laku. Samadhi merujuk pada kondisi melepaskan ikatan dengan duniawi dan menyatukan fokus pada yang ilahi.
Yup, (yoga) asana dan pranayama ada di tengah-tengah. Sebagai bagian dari ashtanga, asana dan pranayama sama-sama berdasar pada sudut pandang bahwa tubuh adalah kuil bagi jiwa. Tubuh harus dijaga, karena tubuh adalah sarana untuk bisa sampai pada (tingkat) pencerahan. Model praktik yoga seperti ini terasa lebih pas untuk saya. Fokus latihan bukan pada pose tertentu melainkan pada upaya sinkronisasi napas dengan asana. Napas menjadi lebih penting daripada hal lainnya.
“Breathing is very important. Without breathing, the spiritual mind and body are not coming. There is a method to breathing. That is vinyasa.” — Sri K. Pattabhi Jois
Lebih spesifik soal asana dan pranayama, sekuen asana yang lebih banyak saya praktikkan adalah sekuen ashtanga yoga primary series yang diformulasikan oleh Krishnamacharya. Ashtanga yoga punya urutan gerakan yang baku, fyi. Kelas ashtanga yoga yang kalian ikuti minggu lalu akan berisi urutan gerakan yang sama dengan kelas hari ini, akan sama juga dengan kelas bulan depan. Maka di kelas berlabel ‘ashtanga’, instruktur akan lebih banyak keliling melakukan adjustment karena murid (diharapkan) sudah hapal sekuennya.
Apakah saya bosan karena setiap kali latihan, gerakannya itu-itu saja? Belum. 😀
Sudut pandang tradisional mempercayai bahwa fokus olah tubuh ada pada napas. Jadi sekalipun gerakannya itu-itu saja, kualitas olah napas kita akan berbeda. Di pose mana kita bisa bernapas dengan nyaman, di pose mana kita bernapas pendek-pendek. Apakah kita bisa bernapas panjang, dalam, dan nyaman di fullpose atau harus di-downgrade ke opsi lebih mudah? Sadari hal tersebut di latihan hari ini dan latihan selanjutnya. Salah satu tujuan akhir dari semua latihan fisik itu ya napas yang panjang.
Oke, terakhir. Selain sekuen dan pernapasan, yang tradisional dari yoga tradisional ialah doa pembuka dan penutup. Biasanya diucapkan dalam bahasa Sansekerta. Tapi tenang saja, bukan doa pemujaan, kok. Kalau diterjemahkan secara harfiah, doa pembuka di kelas ashtanga yoga berisi ucapan terima kasih pada guru-guru. Juga berisi harapan agar latihan kita memberi kesehatan (pada) tubuh, ketenangan pikiran, dan kebahagiaan hati. Sedangkan doa penutup berisi harapan agar negara kita dipimpin oleh pemimpin yang bijaksana, serta harapan agar seluruh makhluk hidup berbahagia. Bila merasa nyaman, silakan ikuti pembacaan doa tersebut. Bila merasa kurang nyaman, tetap berdoa namun dengan cara masing-masing.
Masih banyak aspek tradisional dari konsep yoga sebagai sebuah tradisi, seperti cara menjaga kesehatan selain dengan cara olah tubuh, latihan pranayama, latihan membuka cakra, dan sebagainya. Lain kali dibahas lagi, ya.
Well, tentu saja pengalaman masing-masing orang terhadap yoga akan berbeda. Sudut pandang, tujuan, dan kondisi tubuh ikut berperan dalam menentukan kesan kita terhadap berbagai jenis yoga. Untuk saat ini, saya lebih nyaman dengan konsep ashtanga yoga. Namun itu tidak membuat saya menutup diri terhadap kelas lain seperti hatha, vinyasa flow, atau iyengar. Bahaya juga kalau terlalu fanatik ke satu hal. Ini juga yang menjadi alasan saya masih rutin ikut kelas reguler di studio yoga favorit. Intinya, apapun jenis yoga yang menurut kalian paling nyaman untuk tubuh kalian, lanjutkan. Pesan saya cuma satu, jangan lupa (ber)napas! 😀
***