[Cerpen] F(r)iksi

*

Remy berjalan lebih cepat dari biasanya. Ia merasa diikuti. Suara langkah kaki di belakangnya terdengar ramai. Lima orang, pikirnya asal.

Beberapa meter di depan, jalanan bercabang tiga. Untuk menuju rumahnya, ia harus berjalan lurus hingga perempatan berikutnya. Namun kekhawatirannya membawa Remy berbelok ke kiri. Ada minimarket dua puluh empat jam yang bisa ia gunakan sebagai pengalih perhatian. Setidaknya ia butuh waktu untuk berpikir —tepatnya berharap— bahwa kekhawatiran ini tidak beralasan. Satu-satunya yang harus ia waspadai saat ini adalah telepon dari editornya. Remy masih punya satu minggu sebagaimana yang mereka sepakati, namun editornya bertindak seolah-olah besok adalah minggu depan itu, menuntut Remy bekerja lebih cepat.

Yusuf, petugas kasir minimarket, menyapanya. Remy membalas sekenanya. Ia menuju sembarang rak di bagian belakang toko, mencari posisi yang tepat untuk memperhatikan jalanan di depan minimarket. Ia menunggu cukup lama namun tidak ada seorang pun yang lewat. Akhirnya ia menyambar sekaleng kopi lalu menuju kasir.

“Lihat apa, sih? Kamu kelihatan khawatir.”

“Lembur?” Remy mengalihkan pembicaraan.

“Menggantikan Uti, cuma sampai tengah malam.”

Ketika membuka pintu minimarket, angin malam kembali menyapa wajah Remy. Ia melanjutkan perjalanan, berusaha melangkah dengan tenang. Di persimpangan terakhir, ia berbelok. Dari kejauhan, terlihat dua laki-laki dan satu perempuan bersandar santai pada pagar rumahnya. Remy tidak mengenal satu pun dari ketiga orang itu. Mereka bersikap seolah memiliki seluruh waktu di semesta ini.

Ketika Remy semakin dekat, laki-laki berkaus merah berjalan menyongsongnya. Wajahnya tampak lega, seolah Remy adalah orang yang selama ini ia cari dengan sungguh-sungguh dan akhirnya berhasil ditemukan.

“Remy B. Laksono?”

“Ada yang bisa saya bantu?” Suara Remy bergetar, tidak bisa ia kendalikan.

Kali ini laki-laki berkemeja putih yang berbicara, “Kami dengar kamu tinggal di sini. Maaf sudah mengganggu. Kami bisa kembali besok pagi asalkan kamu berjanji mau menemui kami.”

Remy memperhatikan mereka. Dua laki-laki tadi berbicara bergantian kepadanya. Seorang perempuan berdiri agar jauh, menunduk, dan memainkan kakinya di aspal berpasir seperti sedang menggambar sesuatu. Merasa diperhatikan, perempuan itu menjatuhkan lirikan tajam ke arah Remy. Remy merasa tak nyaman. Hanya perempuan itu, perempuan satu-satunya dalam rombongan, yang bersikap tak ramah padanya.

“Ta-tapi siapa kalian…”

Remy belum selesai bicara, mereka beranjak pergi atas komando laki-laki berkemeja putih.

“Sampai jumpa besok.” katanya.

Meski mereka datang beramai-ramai, Remy tidak merasakan adanya ancaman. Tetapi jelas kedatangan mereka bukan untuk menjalin pertemanan. Sebelum membuka kunci pagar, Remy melirik sekilas rombongan yang menjauh. Perempuan itu, yang berjalan paling belakang, mengenakan jaket berwarna hitam bertuliskan “Sekolah Khusus untuk yang Percaya – Generasi Ke-1.”

Remang bulu kuduknya melihat itu. Seingat Remy, ia belum belum pernah membicarakan soal Sekolah itu kepada siapa pun. “Ini mustahil.”

Remy mengambil gelas dan batu es dari kulkas lalu membuka kaleng kopi yang dibelinya di minimarket. Ia berjalan ragu ke arah meja kerja di sudut kamarnya. Harapannya, ingin segera menyelesaikan cerpen terakhir yang ia janjikan kepada editornya, tapi ia juga masih belum yakin dengan arah cerita yang sedang ditulis.

“Sekolah Khusus untuk yang Percaya – Generasi Ke-1. Agar setiap keputusan dilandaskan pada keyakinan bahwa alasan itu nyata, tindakan itu nyata, akibat itu nyata. Dan setiap ketidakpercayaan adalah kepercayaan itu sendiri.”

Jemarinya berhenti. Mengetukkannya ritmis di atas meja. Ia menguap satu kali. Remy berhenti di potongan tulisan yang lain. Matanya berangsur meredup. Selama ini, kopi baginya memang bukan untuk menghalau kantuk. Kopi dan air putih dapat saling menggantikan. Kapan saja.

“Ada satu ciri khas yang pasti dimiliki oleh mereka yang Percaya. Tanda lahir berbentuk daun di leher kiri.”

Alarm ponselnya berdering pukul empat pagi dan ia terbangun dalam keadaan lelah seperti habis berlari. Ia duduk tegak dan meregangkan badan sebelum beranjak ke kamar mandi. Orang bilang, keluar dari rutinitas bisa memantik kreativitas. Menulis di tempat asing mungkin ide yang bagus, pikirnya. Lima belas menit kemudian, Remy menenteng tas yang sudah lengkap dengan perlengkapan menulis. Tujuannya adalah restoran yang buka dua puluh empat jam.

Rutinitasnya memang berbeda di restoran itu, ditambah lagi ada tiga orang yang tanpa sadar berada di tempat yang tepat.

“Aku rasa Remy ketakutan. Apa kita tampak seperti penjahat?” Hiro bercermin di jendela restoran dua puluh empat jam tempat mereka menunggu pagi. Wajahnya bersih. Tak ada cambang yang ia biarkan tumbuh bahkan satu sentimeter.

“Tidak, tidak. Dia tidak ketakutan. Penulis bukan penakut. Mereka terbiasa dengan segala kemungkinan, yang terburuk sekalipun. Lagipula, hanya ini tujuan kita.” Denis menimpali sembari menunjuk amplop cokelat di atas meja. “Setelahnya, selesai. Kita menerima upah, lalu menghilang. Kita tidak pernah ada di sini.”

“Entahlah.” Monika berkata pelan. “Aku hanya ingin pulang.”

Denis dan Hiro saling menatap. Mereka bertanya pada satu sama lain di saat yang bersamaan, “Bagaimana sekarang?”

“Menunggu.” Bisik Monika.

Pukul 04.30 pagi, pintu restoran terbuka. Remy datang dengan ranselnya dan menempati kursi di dekat kasir, selisih empat meja dengan mereka. Denis dan Hiro terlihat kaget, Monika biasa saja. “Aku sudah tahu dia akan ke tempat ini. Di tidurnya, ia mengigau. Aku akan ke sana.”

Melihat Remy, Denis menyambar amplopnya lalu beranjak menuju Remy. Hiro mengikuti.

“Inspirasi datang ketika semua orang sedang terlelap, eh?” Denis membuka suara.

“Bikin kebiasaan baru?” Monika berkata ragu-ragu.

“Eh?” Remy tergagap. “Bagaimana kalian tahu kalau aku…”

“Tenang. Kami bukan orang jahat, kok.” Hiro menyela.

Denis duduk berhadapan dengan Remy, Hiro di samping Denis, dan Monika di samping Remy. Tanpa basa basi, Denis menyerahkan amplop cokelat tersebut, “Sebuah penghargaan atas kepiawaian menulis yang kamu miliki.”

“Aku tidak mau dibayar untuk menulis kebohongan.” Remy mendorong amplop yang sudah dikenalnya dengan baik kembali ke arah kedua laki-laki itu. Remy tidak menyangka isu ini belum selesai, ia sudah pernah menolak permintaan yang sama tiga tahun lalu.

“Setelah pemilihan komisaris selesai dan ia terpilih, kamu akan menerima lebih banyak. Coba bayangkan, hidup sebagai orang kaya. Asyik, bukan?” Hiro menimpali.

Remy menggeleng.

“Aku akan tinggalkan amplop ini di sini. Kamu masih punya waktu untuk berpikir. Hubungi aku kapan saja.” Denis melipat lengan kemeja putihnya lalu beranjak. Hiro pun beranjak. Monika tetap di sana.

“Mengapa kamu masih di sini? Mereka tidak menunggumu?” Tanya Remy.

“Aku ingin pulang…ke tempat yang kauciptakan. Kamu juga akan pulang ke tempat yang tepat untukmu.”

“A-aku…” Remy memandang Monika lama. Ia mengingat rumah, mengingat tawaran itu, mengingat potongan tulisannya yang terakhir. Ada tanda lahir berbentuk daun di leher kiri Monika. Ia mengabaikan Monika, segera membereskan barang-barangnya kemudian pergi dari restoran itu. Monika mengikuti. Matahari masih belum menampakkan wujudnya. Remy menggigil. Apa perempuan berjaket tipis itu tidak kedinginan, tanyanya dalam hati.

“Percaya membuatmu hangat. Kamu juga harus belajar Percaya.”

Monika melanjutkan, “Aku tahu, kok. Setiap kali jemarimu mengetik sesuatu tapi kepalamu bicara hal lain, ketika itulah kamu bicara padaku.”

“Apa ini ada hubungannya dengan tawaran kedua kaki-laki tadi?”

“Bisa iya. Bisa juga tidak. Aku tidak mengenal mereka. Aku hanya tahu bahwa mereka akan membuatmu ragu, harus ada seseorang yang membantumu membuat keputusan. Percaya.”

“Aku tidak punya tanda lahir itu. Aku bukan orang yang Percaya.” Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulut Remy.

“Siapa bilang tidak?”

Monika mengibaskan telunjuk, mendaratkannya di leher kiri Remy. Sentuhan panas sedetik mengagetkan Remy, membuatnya refleks memandang Monika dengan tatapan penuh tanya, “Apa yang kamu lakukan?”

“Aku mau pulang…ke tempat yang kamu ciptakan untukku.”

Tubuh Monika berangsur samar, berjalan cepat seolah akan menabrak Remy. Namun, alih-alih menabrak, bayangan samar itu malah memeluk. Remy memejamkan mata merasakan kehangatan yang timbul. Ketika membuka mata, ia berteman kehampaan. Matanya masih mencari-cari Monika ketika angin dingin kembali berembus menimbulkan kejang pelan di tubuh Remy. Sekilas senyum terbit di bibirnya.

“Aku pulang.”

***

[Cerpen] Permainan Komitmen

Bagi beberapa orang, barangkali komitmen hanya sekadar permainan. Si pemain akan naik level bila ia berhasil menyelesaikan satu pertengkaran, naik level ketika berhasil tidak membiarkan diri tergoda oleh rayuan laki-laki/perempuan lain, berhasil membuat tersenyum pasangannya dengan kejutan-kejutan. Lalu pada babak akhir, si pemain akan menjadi pemenang bila ia berhasil menjadi orang yang menyaksikan pasangannya mati lebih dulu. Karena itu berarti ia telah bertahan pada permainan yang dulu ia mulai. Di kalangan artis, hal yang sama juga berlaku. ARS kalah di level ‘selingkuh’, mereka berpisah dan memulai permainan baru dengan orang lain. Artis senior WDY, berhasil menjadi pemenang karena suaminya meninggal lebih dulu sementara ia masih segar bugar. Terkait dengan permainan ini, siapa yang tidak tahu kalau rumah tangga DFS-LM sedang diguncang badai? Kalau Anda mengamini analogi saya, bahwa komitmen bagi mereka kalangan showbiz tak lebih dari sekadar permainan, mari bertaruh, apakah DFS-LM akan berhasil naik level atau kalah sampai di sini?

Simpan.

“Vionaaaa.”

Suara Tari menembus kubikel demi kubikel di ruangan itu lalu sampai di kubikel dan telinga Viona. Viona refleks melihat kalender meja di samping komputernya dan mengingat-ingat tanggal hari ini. Ia mencocokkannya dengan tanggal di kalender yang ia beri lingkaran merah. Waktunya tiba, desahnya.

Langkah gontainya kian bertambah-tambah ketika kakinya semakin mendekati kubikel paling ujung tempat si pemilik suara tadi bekerja. Ketukan pelan yang tak perlu di pembatas kubikel membuat Tari mendongak. Pandangannya tajam ke arah Viona, menusuk dari atas bingkai kacamata cat eye-nya.

“Deadline, Viona.” Kata Tari sambil menadahkan tangan, membuat Viona mengingat kembali kalimat-kalimat yang baru ia tulis. Belum sempurna dan belum pantas untuk diserahkan ke editor. Senyum Tari masih di sana, senyum manis yang membuat Viona merasa tak enak karena untuk ketiga kalinya ia bekerja tak sesuai jadwal. Tari bukannya tidak tahu bahwa Viona adalah penulis yang baik, juga pemerhati yang baik. Dan itu adalah modal yang lebih dari cukup untuk menjadi seorang penulis artikel yang baik. Sebaliknya, Viona juga bukannya tak tahu kalau Tari sengaja menempatkannya di rubrik gosip artis hanya karena Viona memiliki beberapa teman baik yang juga adalah teman baik para artis. Tak bisa menolak permintaan Tari –mentornya, Viona pun didaulat menjadi penulis artikel di majalah tersebut.

“Mbak Tari, artikel saya…” Viona tak kuasa melanjutkan kalimatnya. Kepalanya menunduk, memandangi sepatunya yang baik-baik saja.

“Nei, nei, nei…” Tari menggeleng-gelengkan kepalanya. Satu tangannya terlipat di dada dan satu tangannya kembali ditadahkan. “Hari ini juga, artikel kamu harus masuk ke saya. Supaya saya masih punya waktu untuk mengomentari. Meskipun saya percaya tulisan kamu pasti bagus, tapi proses editing wajib saya lakukan.”

Tari berdiri dari kursinya. Menghampiri Viona lalu memegang kedua bahu karyawan favoritnya itu. “Silakan.” Katanya sambil memutar tubuh Viona dan mendorong Viona kembali ke kubikelnya.

Langkah Viona masih gontai. Tak berubah. Kembali menuju kubikelnya. Putus asa, tangan Viona meraih ponselnya dan mengetik cepat sebuah pesan kepada Juni.

Lo harus jemput gue sekarang!

*

“Lo tahu nggak masalah terbesar lo?”

Viona berlagak bego. “Kagak.”

“Masalah terbesar lo adalah lo jomlo.”

“Sial. Jomlo itu pilihan dan gue memang memilih untuk menjadi jomlo.”

“Tapi secara nggak sadar, lo jadi pemurung. Melakukan semua-semuanya sendiri dan mendadak menganggap lo mampu. Padahal nggak. Okelah, kalo lo berhasil menjadi penulis artikel keren dan artikel lo dibicarakan banyak orang, dan untuk bisa sinis kayak isi artikel lo, lo memang harus jomlo. Tapi kehidupan pekerjaan kayak gitu nggak akan bertahan lama. Ada momen-momen lo akan merindukan Panca untuk sekadar ada di samping lo pada saat-saat sulit kayak sekarang dan berkata kalau semuanya akan baik-baik saja.”

“Nggak usah bahas mantan, deh.”

What? Tapi itu kenyataan. Dan lo nggak nggak bisa memungkiri kalau Panca masih menunggu lo. Dia nggak rela Lo putusin dengan alasan sibuk. Gila. Dan basi.”

Viona tak berkata-kata.

“Nih, coba.” Juni melemparkan pelan sebuah kartu ke tangan Viona.

*

Tiga minggu Viona mengabaikan kartu yang diberikan oleh Juni pada pertemuan mereka waktu itu. Di kartu tersebut ada nama dan nomor telepon juga situs sebuah biro jodoh. Biro jodoh! Mungkin Juni sudah gila. Riuh sendiri melihat kawannya yang semakin hari terlihat semakin kacau.

“Lo harus coba. Sekaliiii aja.” Kata Juni ketika itu.

“Cinta nggak bisa dipaksakan, Jun.”

“Tapi cinta bisa ditumbuhkan.”

“Kayak tanaman?” Viona berkata sinis.

Meski begitu, Viona menelepon We Match dan dua hari kemudian, Viona menerima balasan pesan yang memberitahukan tempat dan waktu ia akan berkencan dengan orang asing itu. We Match Juga memberitahu ciri-ciri laki-laki itu.

“Kemeja marun dan jeans. Jam tangan perak dan tato di punggung tangannya. Kami akan patikan bahwa ia yang akan lebih dulu tiba, dan ia akan meletakkan tangannya di atas meja supaya Anda bisa segera mengenalinya.”

Kupu-kupu beterbangan di perut Viona. Ia tak sanggup melakukan apa-apa, bahkan tak sanggup menelepon Juni untuk mengabarkan kemajuannya sejauh ini.

Viona mematut dirinya di depan cermin sekali lagi. Gaun selutut dengan potongan sederhana, berleher tinggi, tanpa lengan, sudah melekat indah di tubuhnya. Sepatu hak tinggi, dompet kecil, parfum favorit dan rambut digerai. Panca suka melihat rambutnya digerai.

“Ah, tidak. Tidak.”

Viona menggelengkan kepala, berusaha menghilangkan Panca dari pikirannya. Toh keputusan untuk putus berasal dari dirinya. Ia tak boleh menyesali hal itu.

Restoran yang menjadi lokasi pertemuan, terlihat ramai. Viona mensyukuri hal tersebut. Setidaknya ia bisa mengalihkan pandangan ke orang-orang seandainya suasana mendadak kaku. Ia menghampiri petugas restoran dan menyebut We Match sebagai kata sandi, lalu si pelayan mengantarkannya ke sebuah meja.

Laki-laki itu duduk membelakanginya. Kemeja marun dan jeans, Viona memastikan. Jam tangan perak dan tato di punggung tangan kanan.

“Hai.” Sapa Viona ketika si pelayan meninggalkan mereka berdua. “Maaf karena sudah membuat kamu menungg…”

Si laki-laki berbalik dan Viona refleks menutup mulutnya dengan kedua tangan. Panca ada di hadapannya!

“Ka-kamu?”

“Viona, aku mau minta maaf…”

Viona terlalu terkejut sehingga ia tidak mendengar kata-kata Panca yang demikian panjang.

Pada akhirnya, ia hanya mendengar, “Kamu mau memaafkan aku dan memberiku kesempatan kedua, kan?”

Kesempatan kedua. Barangkali hidup ini akan semakin mudah bila semakin banyak orang mau memberikan kesempatan kedua. Kata-kata Juni kembali terngiang di kepala Viona, “Lo yang memutuskan Panca karena sibuk. Padahal Panca nggak mau putus dari lo dan hidup lo berantakan kalau nggak ada dia. Panca masih cinta. Dan lo juga masih cinta dia. Sadar, deh.”

Dengan anggukan pelan dan doa panjangnya dalam hati, Viona berkata, “Semoga aku menang dalam permainan komitmen kali ini. Semoga kita menang.”

“Viona, kamu bilang apa? Permainan komitmen?”

Viona menghambur ke pelukan Panca. “Bukan, apa-apa. Aku baru sadar, kalau pelukan kamu adalah yang paling aku rindukan selama kita nggak bersama.”

Panca menyeka airmata yang membasahi pipi Viona. Dan di kejauhan, Juni tersenyum. Usahanya tak sia-sia.

***

[Cerpen] Ning

Ibu selalu pergi ketika matahari masih sangat jauh bahkan untuk membuat terang pucuk pohon tertinggi di halaman rumah Ning. Lalu ia akan kembali ketika matahari sudah jauh meninggalkan pucuk yang sama dari sisi yang berlawanan. Untuk bergantian dengan bulan. Ibu selalu begitu setiap hari.

“Ning, kamu tinggal di rumah. Jangan ke mana-mana. Tunggu ibu saja sampai ibu pulang sore nanti.”

“Malam.” Ning mengoreksi kata-kata Ibu.

“Iya, malam.”

“Ning mau ikut Ibu ke pasar.”

“Nanti, Ning. Kalau Ning sudah besar. Sudah setinggi ini.”

Perempuan bertubuh kurus, berkulit wajah keriput –padahal Ning, anak satu-satunya, baru berusia sembilan tahun, dan terlihat lemah itu menaikkan tangannya setinggi bahu. Telapaknya mengarah ke tanah. Ning berusaha menggapai-gapai telapak tangan itu lalu menyejajarkannya dengan ujung kepalanya. Ning ingin menunjukkan bahwa ia sudah memenuhi kriteria Ibu agar diperbolehkan ikut ke pasar.

“Sudah sama tinggi, kan Bu?”

Ibu tersenyum sedetik, tanpa memandang Ning. Lalu kembali sibuk dengan besek-besek bambu berisi aneka dagangan. Ia bolak balik dari mulut dapur ke sebuah meja yang salah satu kakinya bukan lagi berbahan kayu seperti kaki-kaki lain, melainkan berupa tumpukan batu pipih. Besek pertama ia isi dengan nasi putih yang uapnya masih mengepul panas. Beralas daun pisang dan ditutup daun pisang. Besek kedua ia isi dengan urap yang bumbu kelapanya masih terpisah. Besek ketiga berisi aneka macam lauk. Besek-besek itu besek kecil saja, yang hanya memuat sekian belas porsi makanan. Artinya, tidak banyak yang harus dijual Ibu setiap harinya, tetapi ia selalu kembali saat matahari sudah tak di tempatnya. Sampai sekarang Ning tidak tahu mengapa Ibu membutuhkan waktu yang begitu lama untuk menghabiskan dagangan lalu pulang.

“Kapan Ning akan setinggi itu?” Kata Ning sambil membersihkan ingus dengan baju lusuhnya.

“Nanti, Ning. Kalau Ning sudah besar.”

Jawaban Ibu tidak memuaskan dada Ning. Ia mengekor Ibu ke dalam kamar. Ibu akan mengambil kain untuk mengalasi tumpukan besek-besek agar tidak langsung bersentuhan dengan kepalanya, sekaligus menghindari anak-anak rambutnya menyangkut di sulaman besek.

“Ning bisa bantu Ibu jualan. Ning sudah bisa berhitung. Ning juga bisa menyunggi besek-besek itu tanpa memegangnya. Ibu mau lihat? Sini Ning yang menyunggi.”

Ibu tidak meluluskan keinginan Ning. Ia terus melilitkan kain yang baru diambilnya, di telapak tangannya. Ia keluarkan kumparan itu lalu meletakkan kain yang sekarang serupa donat di atas kepalanya.

“Bu, Ning mau ikut.” Ning menarik-narik kain yang meliliti tubuh bagian bawah Ibu.

“Nanti, Ning. Kalau Ning sudah besar.”

Ning mengikuti Ibu ke luar rumah. Keinginannya tidak dihiraukan. Ia berdiri sambil melingkarkan tangannya di pilar kayu sebelah kanan. Ibu menjauh. Besek bertumpuk tiga yang ia sunggi di kepalanya, menjadi bagian tubuh Ibu yang paling terakhir dilihat Ning.

Ning beranjak ke dipan kayu yang ada di beranda rumahnya lalu tertidur.

*

Matahari muncul di sela dedaunan. Sinarnya menembus gemerisik daun yang sibuk berbisik. Ning mengerjap dan medudukkan tubuhnya dengan malas. Dipan kayu itu mengerit pelan.

“Sudah terang, ya. Saatnya membangunkan Ibu.”

Ning berdiri. Kaki-kaki kecilnya telanjang, menjejak lantai rumahnya yang terbuat dari tanah yang mengeras. Dingin. Ning berjinjit-jinjit, pelan, menuju kamar Ibu yang pintunya telah terbuka sedikit. Ning mendorong pintu itu tetapi tidak melihat Ibu di atas tempat tidurnya.

“Ibu di dapur, ya.” Ning berkata pada dirinya sendiri lalu memutar langkah.

Ringis pelan terdengar dari mulutnya. Sementara itu, tangannya mengusap-usap perut laparnya. Bau nasi putih yang baru matang menyeruak dari arah belakang rumah tempat dapur berada. Ning menghirup udara dalam-dalam.

“Ibu, Ning lapar.”

Ning melangkah dengan tak sabar tetapi kakinya membeku di pintu dapur. Pandangan matanya melemah seperti orang yang baru saja memakan makanan hambar. Ia menghadapi dapur yang kosong. Mulut dapur berisi kayu bakar yang tinggal arang. Tidak menyisakan bara sama sekali. Ning mendekati dua kuali yang kemudian ia goyang-goyangkan. Kosong.

“Ibu, Ning lapar.”

Ning berbalik, lupa mencari Ibu, menjelajahi seluruh ruangan dengan matanya, mencari-cari apa yang bisa ia lakukan. Didekatinya sebuah kursi kayu, ditariknya kursi tersebut ke arah lemari, dijadikannya tangga agar bisa menggapai lemari tinggi yang menempel di dinding. Biasanya Ibu menyimpan bahan makanan di sana. Beras, beberapa butir telur juga bumbu-bumbu. Makanan yang Ibu masak untuk dijual juga biasa disisakan sedikit untuk Ning lalu diletakkan di dalam lemari yang sama. Dengan susah payah, Ning membuka pintu lemari. Tangannya meraba-raba tapi tak menemukan apa-apa. Perutnya terasa semakin melilit. Ia turun dari kursi dan berlari ke belakang rumah. Kalau tak ada makanan, barangkali masih ada air untuk diminum. Ning melongok ke dalam tempayan besar tanpa tutup tempat menampung air hujan. Kering.

Ibu memasak makanan tetapi tidak menyisakan sedikitpun untuknya. Semuanya ia jual. Dijadikan uang. Tetapi Ning dibiarkan dengan rasa lapar. Ibu bilang, Ning tidak boleh kemana-mana. Ia harus tetap di rumah hingga Ibu pulang. Tetapi otot-otot perutnya semakin tegang. Sampai kapan Ning bisa menahan rasa lapar?

Ning kembali ke beranda dan membaringkan dirinya di dipan kayu yang mengerit ketika ia naiki. Kedua tangannya terlipat di atas perut. Ning mulai menyanyikan lagu yang sering dinyanyikan Ibu untuknya dulu. Senandung yang ia harap dapat membuatnya lupa bahwa perut bisa merasa lapar.

 

Putri cening ayu
Ngijeng cening jumah
Meme luas malu
Ke peken mebelanje
Apang ade darang nasi… *)

 

Matahari semakin tinggi. Berkasnya pas mengenai wajah Ning. Angin sepoi-sepoi membelai matanya juga khayalannya.

*

Tak ingat berapa lama Ning tertidur, matanya kini terbuka dan pandangannya samar. Angin berembus pelan dan matanya menutup lagi. Cahaya bulan sudah menembus dedaunan ketika angin berembus berulang-ulang. Meniupkan kesadaran Ning lalu menariknya lagi. Sadar, lalu lupa lagi.

“Ning sekarang sudah besar. Sudah setinggi bahu Ibu. Artinya apa?”

Bisik Ibu terdengar di telinganya. Suara itu tersenyum.

“Artinya Ning sudah boleh ikut Ibu ke pasar.” Gumam Ning dalam gelap matanya, membalas pernyataan Ibu.

“Ning, sekarang sudah boleh ikut Ibu ke pasar.”

Ning membuka matanya. Ia pikir terang yang menyilaukan matanya adalah cahaya matahari yang telah meninggi. Nyatanya, sekelilingnya masih dilingkupi gelap. Entah menjelang pagi atau baru menginjak malam. Rumah-rumah yang lain terletak berjauhan. Tak ada yang saling mengingatkan ini itu. Suara kokok ayam di kejauhan juga tak memberi kepastian waktu. Ayam berkokok sekehendak hatinya.

Ning duduk di pinggiran dipan. Kakinya menggantung, sedikit lagi sudah bisa menyentuh lantai tanah. “Ibu bilang Ning sudah besar. Ibu bilang Ning sudah setinggi bahunya.” Ning mengayun-ayunkan kakinya dengan senang. “Ibu bilang Ning sudah boleh ikut ke pasar.”

Ning berlari ke dalam rumah mencari Ibu.

“Ibu, ayo ke pasar. Ning ikut. Ning kan sudah besar.”

Tidak ada jawaban didengar Ning.

“Ibu… Ibu…”

Ning mendorong pintu kamar Ibu yang telah terbuka sedikit. Tidak ada siapa-siapa. Ning berlari ke dapur dan dapur kosong saja. Besek-besek yang Ibu gunakan untuk berjualan juga tidak ada di tempatnya. Bahan makanan yang biasa terserak di lantai dapur kala Ibu menyiapkan jualannya juga tidak ada. Tidak ada Ibu di mana-mana. Tidak ada jejak Ibu di mana-mana. Perut Ning melilit karena rasa lapar itu muncul lagi. Ia meringis. Kali ini sambil menangis.

“Ibu… Ibu di mana?”

Ning mulai merengek takut. Untuk pertama kalinya, berada dalam gelap seperti ini membuat darahnya berdesir.

“Ibuuu….”

Ning semakin takut. Rengekannya semakin keras. Airmatanya semakin deras. Ia berjalan pelan ke arah depan rumah, sambil mengusap wajahnya yang basah dengan baju lusuhnya.

“Ning mau ikut ke pasar. Ibu di mana? Ibuuu…” Ning berbicara pada ruang kosong di sekelilingnya. “Sudah hampir pagi, Bu. Ibu sudah ke pasar, ya? Ning menyusul, ya?”

Ning berjalan ke kamar Ibu lalu membuka lemari tempat Ibu menyimpan beberapa potong baju milik Ning. Diambilnya baju terbagus yang ia punya.

Setelah mengganti baju lusuh yang ia pakai dengan baju bagus miliknya, Ning mulai melangkah menjauhi rumah. Ia berjalan terus mengikuti jalan setapak yang terbentuk begitu saja karena sering dilalui orang-orang. Barangkali itulah jalan yang juga dilalui Ibu ke pasar setiap hari.

Tangisnya belum reda. Rasa laparnya juga. Ning berjalan sambil terisak. Sesekali ia mengusap airmatanya dengan baju bagusnya. Awalnya ia merasa sayang mengotori baju bagusnya, tapi tak ada pilihan lain.

“Ibu, tunggu Ning.” Ia berteriak seolah-olah  ia hanya tertinggal beberapa langkah di belakang Ibu. Langkahnya semakin cepat. Melewati pepohonan dan tanaman demi tanaman. Mengikuti jalan setapak yang tadinya jelas dan besar, tapi semakin lama semakin pudar.

“Ibu… Jangan tinggalkan Ning sendirian.”

Ning berhenti berlari. Ia melihat sekeliling. Jalan setapak itu kini telah benar-benar hilang. Ia tak tahu harus berlari ke arah mana lagi.

“Ibuuu…”

Ning mulai berlari lagi, ke sembarang arah. Bulir airmata yang jatuh ke pipinya terbawa angin ke arah belakang.

Ning mengejar Ibu. Terus berlari dari gelap hingga gelap lagi.

Ning mencari Ibu.

Ning menyusul Ibu.

Yang barangkali lupa bahwa Ning terus menunggu.

***

 

—–

*) Lagu daerah Bali yang berjudul Putri Cening Ayu, dan bait lagu ini berarti:
Putri kecilku yang cantik
Tinggal dan jaga rumah, ya
Ibu pergi dulu, berbelanja ke pasar
Agar ada lauk untuk dimakan…

**) Terinspirasi menulis ini setelah membaca cerpen berjudul Perempuan yang Berumah di Rumpun Bambu karya Putu Fajar Arcana di buku kumpulan cerpen Dari Datuk ke Sakura Emas. :))