[Matilda] Bacaan Wajib Para Orang Tua

matilda

Judul: Matilda
Penulis: Roald Dahl
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (GPU)
Tahun Terbit: Agustus 2010
Jumlah Halaman: 261
ISBN: 9789795111672
Blurb:

Matilda sangat jenius, selain juga amat perasa. Sebelum berusia lima tahun, dia sudah membaca karya-karya pengarang besar. Tapi orangtuanya menganggap dia hanya seperti ketombe yang menjengkelkan. Matilda memutuskan untuk mengurus dirinya sendiri. Ketika “diserang” Miss Trunchbull, kepala sekolahnya yang amat kejam, dia baru sadar ternyata dirinya punya kekuatan supernatural. Lalu Matilda memakai kekuatan istimewanya itu untuk menyelamatkan sekolahnya, terutama guru kesayangannya, Miss Honey.

*

Saya yakin, tidak cuma saya. Banyak pembaca di luar sana yang mulai mengoleksi buku tertentu untuk diwariskan kepada anak cucunya. Tidak bisa dipungkiri, bahwa sebagai orang (yang lebih) tua, kita memiliki lebih banyak referensi bacaan sehingga dengan bangganya kita memilih buku untuk dibaca anak kita kelak. Banyak yang juga berpendapat bahwa anak memiliki kebebasan sendiri dalam menentukan buku apa yang ia baca, tapi orang tua juga berperan untuk mengarahkan anak agar terhindar dari bacaan yang menyesatkan.

Salah satu buku yang jelas akan saya wariskan kepada anak cucu kelak adalah Matilda. Lebih besar dari sekadar bacaan anak-anak, rasanya Matilda lebih penting untuk dibaca oleh para orang tua. Dari bab pertama, pembaca sudah dihadapkan pada dua tipe orang tua: yang bangga dengan anaknya seburuk apa pun sang anak dan yang tidak peduli pada anaknya sebaik apa pun sang anak. Sebagai (calon) orang tua, kita (akan) termasuk yang mana?

Orang tua Matilda adalah tipe kedua.

“Terkadang bisa dijumpai juga orangtua yang bersikap sebaliknya: mereka ini sama sekali tidak peduli terhadap anak-anak mereka. Dan ini tentu saja lebih buruk daripada para ayah dan ibu yang terlalu besar kasih sayangnya.” –hal. 9

Mengenai mengapa Matilda tak diindahkan oleh orang tuanya, pembaca tak diberi penjelasan. Tahu-tahu Matilda dianggap sebagai pengganggu oleh orangtuanya yang sibuk dengan urusan mereka sendiri. Agak menyesakkan dada, sih. Punya anak tetapi bersikap tak peduli. Tidak berhenti sampai di situ, mereka bahkan menganggap kemampuan Matilda berbicara di usia satu setengah tahun sebagai kecerewetan. Mereka juga tidak percaya bahwa di usianya yang kelima, Matilda sudah lancar membaca buku-buku karya pengarang besar (orang tuanya menganggap bahwa Matilda hanya melihat-lihat gambar yang ada di dalam buku itu), atau menghitung dengan cepat dan benar (orang tuanya menganggap Matilda mengintip catatan ayahnya sehingga bisa menjawab dengan benar). Benci pada anak sendiri? Heu?

Syukurnya, selain jenius, karakter Matilda juga bisa dibilang dewasa. Ia memutuskan untuk mencari kesibukan sendiri alih-alih memusingkan sikap orangtuanya tersebut. Sosok Matilda menjadi semakin adorable karena bentuk pelariannya adalah membaca buku. Matilda bahkan membaca buku karya pengarang, yang di saya sendiri buku-buku tersebut masih bertengger manis di reading list. Charlotte Bronte, H.G. Wells, Jane Austen, John Steinback, Charles Dickens, Graham Greene, C.S. Lewis. You name it. Selain itu, Matilda sebenarnya bukan anak yang mudah emosi, ia juga tidak membenci ayah dan ibunya, tetapi toh di beberapa kesempatan ia tetap membalas dendam. Hehe. Tidak ada yang tahu perbuatan Matilda kepada orang tuanya, sehingga tak ada celah bagi tokoh mana pun untuk menceramahi pembaca mengenai apa yang baik dan tidak baik dilakukan anak terhadap orang tua yang jahat.

Berbicara tentang ceramah, hanya sedikit pesan moral yang disampaikan secara eksplisit di novel ini, itu pun kalau pembaca merasa perlu menemukan pesan moral. Salah satunya berasal dari Miss Honey, guru kelas Matilda. Itu pun untuk menjelaskan bahwa pekerjaan orang tua Matilda di bidang jual beli mobil, disertai tindakan tertentu yang dapat dikategorikan sebagai penipuan. Terlebih lagi, mereka melakukannya dengan sadar dan bertujuan untuk menguntungkan diri sendiri. Tentu sikap buruk seperti itu tak perlu diperdebatkan (baik atau buruk) sebagaimana ‘tindakan bermoral’ lainnya.

Kembali ke sikap orang dewasa, selain (karakter) orangtua Matilda yang memaksa kita bercermin, ada beberapa contoh kelakukan orang tua/dewasa yang membuat kita berpikir, khususnya mengenai sikap kita kepada anak-anak. Di antaranya, tokoh kepala sekolah yang begitu getol mengumpat.

matilda-kutipan

Overall, betapa menyenangkan mengetahui Matilda merupakan novel anak yang tidak dipenuhi dengan pesan moral. Termasuk tentang kepala sekolah yang hobi mengumpat, tak ada tokoh yang bersuara untuk menegaskan bahwa mengucapkan kata-kata kasar adalah perbuatan yang sopan atau tidak sopan. Roald Dahl seolah membiarkan anak membaca, menikmati, menyimpulkan sendiri apa yang baik dan tidak baik. Barangkali, anak tak perlu diatur atau diarahkan agar meyakini suatu pendapat tertentu karena anak adalah individu yang bebas.

Tapi, orang tua yang khawatir mungkin tidak akan menyodorkan Matilda untuk dibaca oleh anak-anak mereka karena novel ini penuh dengan perbuatan jahat (orang dewasa yang jahat, dan anak-anak yang tukang balas dendam). Padahal novel kontroversial bisa memantik percakapan antara anak dan orang tua, lo.

Lima bintang untuk Matilda yang menggemaskan, dewasa, dan merdeka.

***

Club CSI: Detektif Cilik Masa Kini

FullSizeRender (2)

Judul: [Serial] Club CSI
Penulis: David Lewman (Club CSI #1-4 dan #6) dan Ellie O’Ryan (Club CSI #5)
Penerbit: Kiddo (Imprint KPG)
Tahun Terbit: 2014
Jumlah Halaman: 141-158

*

Setelah membaca Club CSI #1: Kasus Daging Gulung Misterius, saya pikir serial ini cocok untuk anak kelas 3 atau 4. Alasannya, karena bahasanya sangat sederhana dan kalimatnya mudah dimengerti. Jadi, asalkan si anak sudah lancar membaca maka seluruh serial Club CSI dapat menjadi hiburan yang bagus. Tetapi setelah melangkah ke seri kedua, ketiga, dan seterusnya, saya baru menemukan bahwa serial ini lebih dari sekadar kalimat sederhana dan mudah dimengerti. Semakin lama, semakin banyak pengetahuan ilmiah yang dimasukkan untuk mendukung proses penyelidikan.

Semua proses penyelidikan terasa mudah karena adanya Kelas Forensik sebagai latar belakang cerita. Namanya juga Kelas Forensik, materi pelajarannya ya terkait dengan proses penyelidikan suatu kasus, misal penggunakan bubuk khusus untuk mengambil sidik jari di Tempat Kejadian Perkara (TKP), penggunaan mikroskop serta cairan-cairan kimia tertentu untuk memeriksa barang bukti, dan sebagainya. Logika-logika awal seorang penyelidik juga dijabarkan dengan detail, utamanya mengenai bagaimana mereka mengumpulkan bukti serta informasi penting yang berguna untuk penyelidikan. Bahkan dipelajari juga berbagai motif di balik sebuah kejahatan.

Keberadaan Kelas Forensik inilah yang mencetuskan ide di kepala Ben, Hannah, dan Corey untuk membentuk sebuah klub detektif bernama Club CSI, didukung oleh guru mereka yang bersedia menjadi penasihat klub.

“Spoliation artinya penghancuran bukti. Dan, terkadang penghancuran bukti adalah alasan untuk melakukan pembakaran.”

Agar tidak terdengar terlalu sederhana anak-anak, kasus yang diselidiki oleh Club CSI ini ternyata hanya ‘pintu’ bagi pengungkapan kasus yang lebih besar. Ada penyelundupan komputer tablet besar-besaran yang terungkap ketika Club CSI menyelidiki kasus hilangnya (hanya) $100 (dari total $1400 yang tersimpan) di laci meja Mrs. Ramirez. Ada persaingan tak sehat antarsupermarket yang diketahui dari penyelidikan kasus keracunan makanan yang menimpa banyak siswa. Juga ada plagiasi serius yang dilakukan seorang siswa sehingga ia harus menggagalkan sebuah pertunjukan drama sekolah. Ini menjadi nilai tambah tersendiri untuk serial Club CSI.

Selain kepintaran ketiga anggota klub dan bantuan penasihat mereka, teknologi/internet juga memegang peranan penting dalam proses penyelidikan. Mencari alamat tinggal seseorang, memasang kamera untuk mengintai TKP, hingga menemukan IP address dan lokasi sebuah komputer yang digunakan untuk kejahatan. Penggunaan teknologi semacam ini, membuat saya mengingat serial detektif cilik legendaris ciptaan Enid Blyton, siapa lagi kalau bukan Lima Sekawan, yang ceritanya berlatar waktu puluhan tahun lalu. Berbeda dengan Club CSI yang lebih kekinian, penyelidikan Lima Sekawan dilakukan dengan bantuan teknologi yang minim, kalau tak bisa dibilang tidak ada sama sekali.

Bagi orangtua yang menyodorkan Lima Sekawan untuk anak-anak yang sehari-harinya sangat fasih menggunakan komputer/internet, apalagi kalau si anak cukup kritis, barangkali harus siap mendengar pertanyaan semacam, “Kenapa capek-capek membuntuti orang untuk tahu di mana ia tinggal? Kan bisa di-Google.”

Tampaknya, tak hanya bacaan dewasa saja yang bersifat ‘merekam’ zaman, bacaan anak juga.

***