Judul: Seira & Tongkat Lumimuut
Penulis: Anastasye Natanel
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (GPU)
Tahun terbit: Juli 2018
ISBN: 9786020387673
Jumlah halaman: 247
Blurb:
Begitu sembuh dari sakitnya, Seira merasakan perubahan pada dirinya. Dia mendapati ada sesuatu yang lain dalam dirinya sejak bertemu perempuan aneh dalam mimpinya.
Menjadi sehat secara mendadak dan kemunculan orang-orang asing di sekitarnya menjadi awal perubahan besar dalam hidupnya: pertama, dua anak kembar di kampusnya, Mikaela dan Manasye, yang tiba-tiba menjadi sahabatnya; kedua, Siow Kurur, laki-laki tampan yang mengaku sebagai pelindungnya; ketiga, kumpulan orang yang mengenakan pakaian ala penari Kabasaran yang datang memburunya.
Bukan hanya itu, Papa juga tampak bersikap aneh. Bahkan Giddy, teman kecil Seira yang ia kenal luar-dalam, rupanya menyembunyikan rahasia besar darinya.
Hidup Seira telah berubah, ia bukan lagi manusia biasa.
*
Sepanjang ingatan saya, cerita rakyat yang masih menempel di kepala hingga saat ini antara lain Malin Kundang, Sangkuriang, dan Timun Mas. Seiring berjalannya waktu, semakin sedikit cerita rakyat yang saya baca, terutama karena jenis bacaan sudah beranjak dari cerita rakyat sebagai bacaan wajib di sekolah ke novel populer. Maka ketika mendengar novel Seira & Tongkat Lumimuut ini siap terbit, saya penasaran. Apalagi novel ini digadang-gadang mengangkat legenda dari suku Minahasa. Penasaran ganda!
Formula tulisan fiksi yang umum –yaitu perubahan rutinitas tokoh sebagai penanda dimulainya cerita– digunakan oleh Anastasye Natanel. Seira yang tadinya hanya mahasiswa biasa, memiliki sedikit teman (interpretasi pribadi), dan tinggal bersama ayahnya tiba-tiba mengalami perubahan drastis setelah sembuh dari penyakit demam. Pandangan matanya tidak lagi kabur (kacamata itu apa?), orang-orang di kampus mulai menjalin pertemanan dengannya, bahkan seorang babang tamvan tiba-tiba datang dan menjadi pengawal setia Seira. Ke mana perginya dunia Seira yang dulu, serta dunia baru seperti apa yang akan ia hadapi?
“Aku tak pernah menganggap kalian teman sama sekali. Kalian sendirilah yang selalu bersikap seolah kita teman baik.”
-hal. 30
Cerita kehidupan Seira mengalir cepat dan padat. Melompat dari satu adegan ke adegan lain, dari satu persoalan ke persoalan lain tanpa banyak basa-basi. Si kembar, Manasye dan Mikaela, serta Siow Kurur menjadi pembuka keseruan, sedangkan hubungan ‘segitiga’ Lokon-Soputan-Klabat memberi jawaban atas segala pertanyaan. Jumlah halaman yang hanya 240-an kemudian menjadi medium yang sangat sempit untuk menceritakan banyaknya keseruan yang terjadi. Apalagi jalinan kalimat yang page-turner banget, semakin bikin novel ini terasa pendek. Tadinya saya berharap, ada cerita keseharian Seira (sebagai manusia biasa) dijadikan pembuka; hubungan dengan orang tua, Giddy, dan teman lainnya. Juga tambahan deskripsi yang membuat adegan menjadi lebih imajinatif, atau tambahan deskripsi di akhir cerita sehingga novel ini tidak menimbulkan kesan tahu-tahu-kelar.
Banyak aspek mitologi Minahasa dalam novel ini yang menurut saya bisa dikembangkan lebih luas dan mendalam sehingga akan memberikan gambaran semesta yang lebih utuh. Yang paling pasti, saya ingin membaca lebih banyak lagi mengenai legenda soal Toar dan Lumimuut itu sendiri. Apa yang terjadi pada mereka sebelum masuk ke dunia Seira? Selain itu, Lokon-Soputan-Klabat. Cerita mereka menarik dan pantas mendapat porsi cerita yang lebih banyak. Juga, cerita soal Siow Kurur, serta empat puluh roh opo. Yang terakhir ini favorit saya! Interaksi mereka menjadi pencuri adegan. Koplak!
“Aku sedikit kebingungan untuk memilih siapa di antara kalian berdua yang harus kubunuh duluan. Bagaimana kalau tugas itu kuserahkan pada Seira?”
-hal. 223
Meski tokoh-tokoh dalam novel ini berdasar pada legenda berusia ratusan tahun, penulis cukup piawai memadukan mitologi ke dalam tulisan fiksi bergaya kekinian. Bagaimana tidak kekinian, makhluk penunggu gunung digambarkan memiliki rumah berdesain modern minimalis serta menggemari drone. Belum lagi taburan celetukan yang kekinian banget seperti meneketehe, bingung-ception, antimainstream, bahkan sampai membawa-bawa Ivan Lanin. Penulisnya pasti anak Twitter sejati. Pastik!
Mengambil latar tempat dan cerita yang tidak sering diberitakan media nasional (Minahasa itu di mana?), sangat kental terasa bahwa novel ini merupakan proyek ambisius dan menjadi bukti keberanian penulis dalam upaya mengenalkan budaya daerah asalnya. Penggunaan gaya kontemporer untuk mengangkat cerita rakyat merupakan upaya yang baik dan benar. Karena itulah, penilaian yang sangat tinggi saya berikan pada Seira. Bahkan, bukanlah ide buruk menjadikan novel ini sebagai bacaan wajib di sekolah dasar atau sekolah menengah pertama di Sulawesi Utara. Siapa tahu, kan?
***