[The Perks of Being a Wallflower] Surat untuk Charlie

*

Dear, Charlie.

Masa lalu yang buruk memang begitu, ia suka berdiam lama dalam kepala dan menakut-nakuti diri kita untuk melangkah ke masa depan. Bahkan, menakut-nakuti diri kita ketika menjalani saat sekarang. Yang saya tahu, seberapa kuat masa lalu memengaruhi kita ditentukan oleh seberapa kuat diri kita untuk melawannya.

Iya. Awalnya saya pikir bahwa masa lalu itu perlu dilawan.

Dan setelah membaca surat-suratmu, saya tahu bahwa masa lalu bukan untuk dilawan melainkan diterima lalu dijadikan kawan. Apalagi oleh orang yang berperasaan halus sepertimu. Melawan (baik dengan kekerasan fisik atau kata-kata), tentu menjadi pilihan terakhirmu untuk menyelesaikan masalah. Saya setuju.

Mengenai ‘melawan’ saya sempat terkejut ketika kamu membela Patrick sedemikian hebat hingga membuat semua orang seperti tak percaya. Orang yang terlihat lemah dan cengeng ternyata bisa mengayunkan tinju. Wow!

Sampaikan salam saya kepada Patrick, dan Sam. Mereka adalah tipe sahabat yang juga ingin saya miliki. Setia, menerima apa adanya, membuat kamu merasa lebih baik. Membuat kamu merasa bahwa kamu tidak sendirian, khususnya ketika orang-orang menganggapmu aneh. Bersyukurlah karena kamu punya mereka.

Charlie, kita tahu bahwa tidak semua orang bisa diajak bicara. Sehingga menemukan seseorang yang bisa dijadikan teman bicara seperti mendapatkan hadiah tanpa kita minta. Saya menganggap kamu teman, kalau kamu tak keberatan. Saya suka mendengar cerita-ceritamu. Kamu menyampaikannya dengan jujur dan sederhana. Sesuatu yang sulit ditemui belakangan ini. Tetaplah menulis cerita-cerita yang membuat saya tersenyum, merenung, dan cerita-cerita tabu (yang takut dibicarakan oleh orang lain). Tabu seperti masturbasi, minuman keras, obat-obatan terlarang, dan pelecehan seksual yang kerap terjadi di depan mata tetapi seringnya tak disadari. Saya perlu merasa bahwa dunia ini tidak baik, tidak sebaik yang didengungkan. Sulit untuk melihat adanya perubahan ke arah yang lebih baik ketika semua orang menganggap segala sesuatunya sudah baik.

Sebagai orang yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata, kamu pasti paham maksud saya. Saya yakin itu.

Tetaplah menulis, tetaplah jujur. Tetaplah berusaha menyenangkan semua orang. Namun, kali ini dengan tambahan: jangan lupa untuk juga menyenangkan diri sendiri. Bukankah bahagia itu untuk dibagi? Dan berbagi berarti kamu juga mendapat bagian.

Tetaplah menyukai Sam, terkadang memiliki seseorang untuk disukai membuat kita waras. Tetaplah berharap kabar darinya meski kini kalian terpisah jarak. Tetaplah menjaga perasaan-perasaan dan orang-orang yang menurutmu penting. Jangan biarkan orang lain membuatmu melakukan apa yang tak kamu kehendaki. Tetaplah menjadi seseorang yang bebas.

Charlie, meskipun kamu mengucapkan salam perpisahan di suratmu yang terakhir, kamu tahu saya akan tetap di sini. Membaca buku-buku yang kamu suka, sembari menunggu cerita-ceritamu tentang buku-buku yang lain. Ah, betapa banyak yang bisa saya ambil dari kamu. Semoga begitu juga sebaliknya.

Untuk itu, saya berterima kasih tetapi saya tetap menunggu.

Love,

M

***

img_0052

Tulisan di atas adalah semacam review untuk novel The Perks of Being a Wallflower – Stephen Chbosky (MTV Books and Pocket Books, 1999), yang baru saja diterbitkan dalam Bahasa Indonesia oleh penerbit Kepustakaan Populer Gramedia (KPG). Akhirnyaaa…

***