Malang-Bromo #3: Begadang Demi Bromo

Keluar dari BNS, hari sudah gelap sementara kami masih harus melanjutkan perjalanan menuju Bromo tengah malam nanti. Karena itu, kami memutuskan untuk segera kembali ke hotel dan beristirahat sejenak. Dalam perjalanan kembali ke hotel kami menyempatkan diri untuk singgah di toko oleh-oleh. Ya, oleh-oleh merupakan pintu gerbang menuju pemberian ijin terlambat kerja pada hari Senin besoknya. 🙂

Sampai di hotel, langsung istirahat. Ketika sedang enak-enaknya tidur, kami dibangunkan oleh telepon dari tour guide kami yang siap menjemput. Ah, padahal sedang asyik-asyik mimpi kencan dengan Matt Damon. Hahaha…

Pukul 00.30 tengah malam, kami dijemput dan dimulailah pertualangan tengah malam kami. Hasil browsing saya tentang perjalanan ke Bromo melalui Malang, mengatakan bahwa jalanannya rusak parah. Berbeda dengan jalur yang melalui daerah Probolinggo, lebih bagus. Kenyataan yang saya rasakan, jalanan memang sebagian berlubang karena aspal yang rusak. Tapi tidak separah yang diceritakan orang-orang. Masih layak, kok untuk dilalui.

Pukul 02.30 kami sampai di Desa Wonokitri, agak kepagian karena perjalanan ke Puncak Penanjakan hanya membutuhkan waktu sekitar 30 menit dan matahari biasanya terbit antara pukul 05.15-05.25.

Perjalanan menuju Puncak Penanjakan, langit masih gelap (tentu saja). Sudah gelap ditambah kabut plus jalanan yang berkelok-kelok naik. Saya yang duduk didepan (hardtop/jeep), sempat kehilangan arah dan pandangan karena gelap. Tidak tahu jalanan di depan kami ini akan mengarah kemana. Lampu jeep pun tidak cukup menerangi. Untungnya pak sopir sudah pandai dan sepertinya sudah hafal diluar kepala mengenai jalur menuju Puncak Penanjakan. Dengan lincah ia mengemudikan jeep yang kami tumpangi hingga kami selamat sampai di Puncak Penanjakan. Dari tempat parkir, kami perlu berjalan sedikit menaiki tangga hingga menemukan spot untuk menyaksikan matahari terbit. Di sepanjang perjalanan, banyak toko yang menjual makanan ringan untuk menghangatkan tubuh, ada juga berbagai perlengkapan melindungi diri dari dingin seperti syal, sarung tangan, dan kupluk (penutup kepala). Khusus untuk jaket, kebanyakan disewakan.

Disana saya hanya membeli kupluk, karena saya sudah membawa dan memakai dua jaket serta sarung tangan. Sudah pula memakai sepatu dan kaos kaki yang tebal. Tapiii.., tetap saja kedinginan. 😦

Sampai di atas, di spot tempat menikmati sunrise, suasana sudah ramai dan penuh sesak oleh orang-orang yang bertujuan sama. Hal ini membuat pandangan kami kearah matahari terbit menjadi terhalang. Selain itu, udara yang seharusnya segar karena berada di puncak pegunungan terganggu karena banyak perokok yang bercampur baur dengan pengunjung lain. Memang, sih saya tidak melihat tanda larangan merokok di sekitar sana. Menyebalkan…

Belum berhenti kekecewaan saya karena asap rokok yang sangat mengganggu, sunrise yang kami nantikan, yang katanya indah itu, pun tidak dapat terlihat sempurna karena tertutup mendung. Whuaaaa….. Sedihnya..!
Ya sudah, kami akhirnya hanya mengambil beberapa foto dan segera turun untuk melanjutkan perjalanan ke kawah Gunung Bromo.

Perjalanan menuju kawah cukup memacu adreanlin, seperti sedang offroad karena jalanan yang rusak berat. Banyak juga pengendara motor sampai harus turun dan menuntun motor mereka untuk bisa melewati jalan-jalan yang terlampau parah. Dan hal itu menyebabkan kemacetan bagi jeep yang akan lewat karena harus menunggu motor-motor tersebut berhasil melewati jalanan rusak.

Setelah melewati jalan aspal yang rusak berat, kami melewati jalanan berpasir (padang pasir) sampai ke tempat parkir. Dari tempat parkir menuju puncak Gunung Bromo jaraknya sekitar satu kilometer. Lima ratus meternya jalanan berpasir yang datar, lima ratus meter lagi jalanan menanjak dan tangga yang curam. Menurut cerita, jumlah anak tangga menuju puncak Gunung Bromo tidak dapat dihitung dengan pasti. karena hasil perhitungan orang yang satu dengan orang yang lain tidak pernah sama. Saya tahu hal ini belakangan, jadi tak sempat mencoba menghitung jumlah anak tangganya.

Perjalanan dari tempat parkir juga bisa dilakukan dengan mengendarai kuda yang banyak disewakan. Sedangkan saya lebih memilih untuk berjalan kali. Salah satu alasannya, karena ingin menjajal kekuatan fisik saya. Ternyata melelahkan juga. 🙂

Sepanjang pendakian menuju puncak Gunung Bromo kita akan ditemani oleh aroma kotoran kuda yang sangat menyengat. Kuda-kuda itu seperti tidak mau kalah dengan dengan Gunung Bromo yang menyebarkan wangi belerang yang juga sangat kuat. Hmmm…

Sesampainya di puncak, saya tidak dapat melihat dengan jelas ke dasar kawah karena, lagi-lagi. tertutup kabut. Sepertinya saya pergi kesana pada saat yang kurang tepat.

Ohya, sopir hardtop akan menawari kita untuk pergi ke padang rumput (savanna), tentu saja dengan tambahan tarif. Menurut cerita tour guide saya, padang rumputnya bagus. Seperti padang rumput di serial Teletubbies itu. Tapi saying sekali, saya tidak sempat kesana karena waktu yang terbatas.

Detail harga:
Syal, sarung tangan, kupluk: rata-rata 10rb/potong
Sewa Jaket: 5rb/potong
Hardtop/Jeep: 350rb (Wonokitri samapi kawah-PP), 500rb (Wonokitri sampai padang Savana-PP)
Sewa kuda: antara 50rb-100rb PP (tergantung tawar menawar)

Catatan: Ada pura di kawah Gunung Bromo. Bagi yang beragama Hindu bisa menyempatkan diri untuk sembahyang. Bunga dan dupa disediakan oleh pihak pura. Sedangkan selendang harus disiapkan sendiri.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s