Museum Unik untuk Publik

Museum di Tengah Kebun benar-benar sesuai namanya. Adem, pepohonan di sana sini, mendominasi keseluruhan area properti. Begitu memasuki gerbang utama, sejenak saya merasa tidak sedang berada di Jakarta. Nuansa asri yang disebabkan oleh tanaman yang menutupi tembok tinggi sepanjang jalan masuk, memberi kontras yang begitu kentara. Jalanan di depan museum ini terbilang kecil, hanya terdiri dari dua lajur. Bangunan di sekitarnya juga tergolong padat. Museum ini, yang halaman depannya berhias tanaman rindang, menjadi semacam oase di kepadatan Kemang Timur.

Sejak awal, area bangunan ini memang diperuntukkan sebagai museum. Namun, berbeda dengan museum kebanyakan yang didesain untuk memamerkan sekaligus melindungi koleksi, museum ini tidak terlalu mementingkan konservasi. Barangkali definisinya sesederhana tempat untuk menyimpan koleksi. Hampir semua barang antik diletakkan begitu saja, ditata selayaknya dekorasi ruangan yang minim nilai historis. Dipajang di berbagai ruangan pada suhu kamar, termasuk kamar mandi. Beberapa lukisan malah digantung santai di bangunan terbuka yang terpapar sinar matahari. “Bapak memang nggak terlalu concern ke konservasi. Yang penting terpajang (dan bisa dinikmati).” kurang lebih demikian penjelasan pemandu kami waktu itu.

Baca Juga: Temukan Alasan Hakiki Perjalananmu

Bapak yang dimaksud adalah Sjahrial Djalil, pemilik museum yang dikenal sebagai pendiri biro iklan Ad Force Inc. Kesukaannya terhadap barang antik memaksa beliau menyediakan tempat khusus untuk menampung koleksi yang terus bertambah. Tidak hanya untuk tempat koleksi, rumah tersebut juga menjadi tempat tinggalnya. Tentu saja kamar tidur beliau tidak luput dari aura masa lalu.

Barang-barang jadul yang berasal dari berbagai era tersebut, diletakkan secara acak di seluruh pelosok bangunan. Masing-masing ruangan, kemudian, diberi nama sesuai dengan nama salah satu koleksi yang paling menonjol di ruangan bersangkutan. Misalnya, Ruang Loro Blonyo yang memajang Patung Loro Blonyo di kanan kiri pintu masuk atau Ruang Dewi Sri yang memajang patung Dewi Sri pada salah satu sudutnya. Di bagian berikutnya, beberapa ruangan diberi nama sesuai dinasti asal koleksi. Iya, dinasti yang itu. Yang kerap muncul di pelajaran sejarah. Di bagian belakang rumah terdapat kebun yang cukup luas dilengkapi dengan kolam renang dan dua pendopo. Bisa diduga, kedua pendopo yang bergaya terbuka tersebut juga tidak lepas dari koleksi-koleksi.

Tidak hanya berisi koleksi untuk tujuan dipajang dan dinikmati pengunjung, beberapa tembok dan jendela museum sendiri dibangun menggunakan reruntuhan bangunan kuno yang dipugar pemerintah/swasta kemudian dibeli oleh pemilik museum. Mengagumkan.

Memiliki hobi mengoleksi benda antik mengharuskan pemilik merogoh kocek dalam-dalam. Tidak sedikit koleksi yang didapat dari memenangkan lelang di Balai Lelang Christie (Christie’s) yang terkenal bergengsi dan memiliki koleksi yang supermahal mewah. Cerita menarik lainnya, untuk mendapatkan salah satu koleksi, Sjahrial Djalil rela menjual apartemennya di Sidney yang berhadapan langsung dengan Opera House. Bisa bayangkan berapa harganya?

Untuk bisa mengunjungi Museum di Tengah Kebun, (calon) pengunjung harus mendaftarkan diri terlebih dahulu (bisa melalui tautan ini). Museum hanya dibuka pada Sabtu dan Minggu, masing-masing dua sesi (pagi dan siang), dan masing-masing sesi hanya menerima maksimal lima belas orang. Tersedia pemandu yang akan menjelaskan perihal museum kepada pengunjung. Tidak ada tiket masuk yang harus dibayar, tidak ada tip yang harus disiapkan untuk pemandu. Semuanya gratis tis tis tis. Untuk lebih jelasnya, silakan berkunjung ke akun Instagram mereka @museumditengahkebun.

***

 

Yang Tradisional dari Yoga Tradisional

Masih jelas di ingatan saya ketika awal-awal masuk kelas yoga di tahun 2014. Semua orang terlihat sudah terbiasa melakukan (gerakan) yoga dan menguasai pose-pose tertentu. Saya juga masih ingat bagaimana instruktur mengarahkan kami untuk melakukan headstand dengan bertumpu pada dinding. Ketika itu, saya bahkan tidak bisa menyentuhkan punggung ke dinding, apalagi menaikkan kaki. Setelah sekian waktu mengikuti kelas yoga, sebuah kepercayaan pun terbentuk. Bahwa semakin sering kita berlatih, maka semakin ahli kita menguasai pose sulit. Bahwa target saya ialah bisa melakukan pose yoga A, pose yoga B, lalu pose yoga C. Penguasaan pose menjadi lebih penting daripada hal lainnya.

Belakangan, fokus saya teralihkan. Saya mengikuti pelatihan yoga yang mengupas yoga sebagai sebuah tradisi. Bahwa yoga tidak hanya soal asana, tetapi juga soal banyak aspek dalam kehidupan sehari-hari. Sumber ajarannya adalah Yoga Sutra yang dikembangkan oleh Patanjali. Dalam teks tersebut dikatakan bahwa terdapat delapan langkah mendasar yang bisa kita lakukan untuk hidup yang lebih bermakna hingga tercapai pencerahan. Delapan langkah tersebut dikenal dengan istilah ashtanga (ashta=delapan, anga=langkah, jalur), dan terdiri dari yama, niyama, asana, pranayama, pratyahara, dharana, dhyana, dan samadhi. Yama merujuk pada sikap kita sehari-hari, semacam kode etik dalam bertingkah laku. Samadhi merujuk pada kondisi melepaskan ikatan dengan duniawi dan menyatukan fokus pada yang ilahi.

Yup, (yoga) asana dan pranayama ada di tengah-tengah. Sebagai bagian dari ashtanga, asana dan pranayama sama-sama berdasar pada sudut pandang bahwa tubuh adalah kuil bagi jiwa. Tubuh harus dijaga, karena tubuh adalah sarana untuk bisa sampai pada (tingkat) pencerahan. Model praktik yoga seperti ini terasa lebih pas untuk saya. Fokus latihan bukan pada pose tertentu melainkan pada upaya sinkronisasi napas dengan asana. Napas menjadi lebih penting daripada hal lainnya.

“Breathing is very important. Without breathing, the spiritual mind and body are not coming. There is a method to breathing. That is vinyasa.” — Sri K. Pattabhi Jois

Lebih spesifik soal asana dan pranayama, sekuen asana yang lebih banyak saya praktikkan adalah sekuen ashtanga yoga primary series yang diformulasikan oleh Krishnamacharya. Ashtanga yoga punya urutan gerakan yang baku, fyi. Kelas ashtanga yoga yang kalian ikuti minggu lalu akan berisi urutan gerakan yang sama dengan kelas hari ini, akan sama juga dengan kelas bulan depan. Maka di kelas berlabel ‘ashtanga’, instruktur akan lebih banyak keliling melakukan adjustment karena murid (diharapkan) sudah hapal sekuennya.

Apakah saya bosan karena setiap kali latihan, gerakannya itu-itu saja? Belum. 😀

Sudut pandang tradisional mempercayai bahwa fokus olah tubuh ada pada napas. Jadi sekalipun gerakannya itu-itu saja, kualitas olah napas kita akan berbeda. Di pose mana kita bisa bernapas dengan nyaman, di pose mana kita bernapas pendek-pendek. Apakah kita bisa bernapas panjang, dalam, dan nyaman di fullpose atau harus di-downgrade ke opsi lebih mudah? Sadari hal tersebut di latihan hari ini dan latihan selanjutnya. Salah satu tujuan akhir dari semua latihan fisik itu ya napas yang panjang.

parsvottanasana fullpose

parsvottanasana opsi mudah

Oke, terakhir. Selain sekuen dan pernapasan, yang tradisional dari yoga tradisional ialah doa pembuka dan penutup. Biasanya diucapkan dalam bahasa Sansekerta. Tapi tenang saja, bukan doa pemujaan, kok. Kalau diterjemahkan secara harfiah, doa pembuka di kelas ashtanga yoga berisi ucapan terima kasih pada guru-guru. Juga berisi harapan agar latihan kita memberi kesehatan (pada) tubuh, ketenangan pikiran, dan kebahagiaan hati. Sedangkan doa penutup berisi harapan agar negara kita dipimpin oleh pemimpin yang bijaksana, serta harapan agar seluruh makhluk hidup berbahagia. Bila merasa nyaman, silakan ikuti pembacaan doa tersebut. Bila merasa kurang nyaman, tetap berdoa namun dengan cara masing-masing.

Masih banyak aspek tradisional dari konsep yoga sebagai sebuah tradisi, seperti cara menjaga kesehatan selain dengan cara olah tubuh, latihan pranayama, latihan membuka cakra, dan sebagainya.  Lain kali dibahas lagi, ya.

Well, tentu saja pengalaman masing-masing orang terhadap yoga akan berbeda. Sudut pandang, tujuan, dan kondisi tubuh ikut berperan dalam menentukan kesan kita terhadap berbagai jenis yoga. Untuk saat ini, saya lebih nyaman dengan konsep ashtanga yoga. Namun itu tidak membuat saya menutup diri terhadap kelas lain seperti hatha, vinyasa flow, atau iyengar. Bahaya juga kalau terlalu fanatik ke satu hal. Ini juga yang menjadi alasan saya masih rutin ikut kelas reguler di studio yoga favorit. Intinya, apapun jenis yoga yang menurut kalian paling nyaman untuk tubuh kalian, lanjutkan. Pesan saya cuma satu, jangan lupa (ber)napas! 😀

***

THR dan Sensitivitas atas Korupsi

Mengabadikan tulisan ini dengan mengeposnya di blog karena: 1) mungkin ini satu-satunya artikel yang saya kirim dan berhasil diterbitkan di kolom opini sebuah media massa, memang tidak istimewa tapi pantas dikenang; 2) ingin memberi apresiasi setinggi-tingginya kepada dosen yang memotivasi mahasiswanya untuk menulis. Yup, ada nilai tambahan bagi mahasiswa yang tulisannya berhasil dimuat di media massa.

Merasa tertantang, saya mencoba mengirim beberapa tulisan dengan tema berbeda ke beberapa media massa. Syukurnya, ada satu yang nyangkut. Selamat membaca. Karena tulisan ini juga bertujuan untuk menarik perhatian redaksi, harap maklumi isinya yang agak lebay.

THR DAN SENSITIVITAS ATAS KORUPSI
(Bali Post, 4 Juni 2018)

Tidak semua aturan bertingkah laku dinyatakan secara tertulis di atas kertas atau dikukuhkan menjadi peraturan yang dapat dibaca oleh pegawai kapan saja dan di mana saja. Sebagian aturan yang membatasi tingkah laku pelayan masyarakat, abdi negara, pegawai pemerintahan, atau apa pun sebutannya adalah standar moral yang berlaku universal. Lagipula, ada sebuah pepatah yang menyebutkan bahwa law is lowest form of ethics. Apa yang tertulis di buku kode etik hanya sebagian kecil dari konsep moral/etika yang sebenarnya sangat luas sekaligus mendalam.

Sebuah rezim pemerintahan bisa saja berhasil mewujudkan kemandirian daerah misalnya di bidang pangan, tetapi sebuah pertanyaan penting muncul dari pemikiran kritis. Apakah kemandirian tersebut dicapai dengan cara-cara yang benar? Atau di lingkup yang lebih teknis, petugas meja depan (front office) bisa jadi memberikan layanan terbaik kepada warganya soal perizinan tetapi apakah ia menerima ucapan terima kasih berupa uang atau bingkisan di kemudian hari?

Bicara soal ucapan terima kasih, tidak lama lagi para pegawai pemerintahan akan mengantongi bingkisan hari raya berupa gaji ke-13 dan Tunjangan Hari Raya (THR). Tahun ini, besaran gaji ke-13 dan THR tidak hanya sebesar gaji pokok tetapi diberikan lengkap dengan tunjangan kinerja. Lagi-lagi mmuncul pertanyaan kritis, setelah bonus yang dinaikkan, apakah serta merta para abdi negara menjadi lebih berintegritas, profesional, dan tidak melakukan korupsi sekecil apa pun?

Masih ditemukannya pelanggaran-pelanggaran kecil yang dianggap biasa, adalah bukti sahih bahwa moral universal dan frasa ‘perilaku etis’ hanyalah retorika. Mari perhatikan, menjelang hari raya seperti ini, berapa banyak pejabat yang memakai fasilitas kedinasan untuk urusan pribadi seperti mudik? Atau justru kita menjadi salah satu pelakunya?

Dalam sebuah organisasi, komitmen atasan akan memengaruhi perilaku bawahannya. Semakin tinggi komitmen atasan untuk menginternalisasi nilai-nilai moral maka semakin kecil kemungkinan staf di level bawah melakukan tindakan yang melanggar moral. Di tingkat pelayan teknis, gratifikasi, pungli, uang pelicin, ucapan terima kasih atau apa pun sebutannya adalah isu paling seksi. 

Perilaku Etis

Perilaku etis bukanlah bawaan lahir. Setiap manusia dibekali dengan kemampuan penalaran yang dapat dilatih sejak usia anak-anak dari/oleh hal-hal sederhana yang terjadi di lingkungan sekitar. Kemampuan tersebut terus terbawa dan menjadi modal masing-masing individu untuk memutuskan tindakan mana yang akan dilakukan dalam menjalankan perannya di lingkungan yang lebih luas.

Perilaku etis terjadi setelah melalui empat proses utama.  Pertama, menyadari isu etika dalam suatu situasi. Setiap pekerja pasti kerap berhadapan dengan isu etika seperti gratifikasi, rapat tertutup, dan perjalanan dinas. Permasalahan terbesar di tahapan ini adalah lemahnya sensitivitas pegawai untuk menyadari isu etika yang terkandung dalam contoh-contoh tersebut. Rasionalisasi merupakan penyebab terbesar lemahnya sensitivitas seseorang. Menerima gratifikasi kerap dianggap tidak mengandung isu etika karena ‘sudah biasa’, ‘tidak disertai maksud apa-apa’, atau ‘nilainya tak seberapa’. 

Kedua, menilai berbagai alternatif tindakan. Pada tahap ini, seseorang akan menentukan berbagai alternatif tindak lanjut atas isu etika yang ditemukan di tahapan sebelumnya. Alternatif dimaksud dapat berupa tindakan etis ataupun sebaliknya. Untuk bisa melakukan penilaian, seseorang perlu mengumpulkan berbagai informasi yang akurat, relevan, dan komplit. Namun, hambatan yang kerap terjadi di tahapan ini adalah bias, khususnya bias terkait persepsi seseorang tentang dirinya sendiri. Untuk contoh gratifikasi, seorang pekerja bisa saja menilai bahwa menerima gratifikasi adalah tindakan etis berdasarkan persepsi bahwa ia telah bekerja keras dan berhak menerima reward, atau (persepsi) ia tidak akan dikenakan sanksi karena inspektur jenderal di instansi pemerintahan tersebut adalah kerabatnya. Keduanya sama berbahayanya.

Ketiga, memutuskan untuk melakukan tindakan yang benar secara moral. Dari sekian banyak alternatif tindakan, etis maupun tidak etis, tidak ada jaminan bahwa seseorang akan melakukan alternatif tindakan yang dianggap etis. Adapun hambatannya, yaitu: budaya etis (ethical culture) dan godaan moral (moral seduction). Ketika pada tahap ini seorang pegawai memutuskan untuk menerima gratifikasi, ketiadaan iklim lingkungan yang bijak dan pengaruh buruk orang lain adalah penyebabnya.

Keempat, berperilaku etis, yaitu benar-benar melakukan tindakan etis yang diputuskan (behavior). Ada dua hal yang memengaruhi perilaku etis atau tidak etis seseorang sebagaimana disampaikan oleh Aristoteles, yaitu: weakness/strength of will dan locus of control. Niat baik yang kuat akan menjamin gratifikasi benar-benar ditolak meskipun emosi, hasrat, dan tekanan sosial memaksa pemimpin untuk melakukan yang sebaliknya. Di samping itu, kendali yang kuat dari sekitar (atasan, lingkungan, atau regulasi) akan meningkatkan kemungkinan pemimpin menolak gratifikasi.

Dari keempat tahapan tersebut, terlihat bahwa perilaku etis atau tidak etis seseorang dimulai dari hati nurani yang terdalam (sensitivitas) baru kemudian dipengaruhi oleh faktor eksternal. Maka dari itu, sangat penting bagi semua pegawai pemerintahan untuk mengasah sensitivitasnya terhadap isu etika di berbagai situasi. Di sisi lain, sebagai masyarakat, kita dapat bertindak sebagai faktor eksternal yang memperkuat aspek locus of control. Sebagai pembayar pajak, kita memiliki hak dan kewajiban yang cukup untuk membuat perilaku etis menjadi satu-satunya pilihan yang dapat diambil oleh para pelayan masyarakat. Dimulai dari meluruskan penyimpangan-penyimpangan kecil, sederhana, dan terlihat biasa.

–oOo–