Ber-ada di Kuil Otagi Nenbutsu-ji

Di Jepang, shrine (tempat ibadah penganut Shinto) dan temple (kuil untuk penganut Buddha) menjadi ‘destinasi wisata’ yang populer. Ada yang datang untuk sekaligus berdoa, ada juga yang datang murni untuk tujuan wisata. Saya termasuk yang kedua, mendatangi shrine dan temple untuk melihat keunikan tempat tersebut sehingga bisa menjadi destinasi wisata terkenal. Khusus untuk shrine, alasan kunjungan saya juga untuk mengambil ramalan dan membeli jimat (cerita detil akan ditulis kemudian).

Pada suatu kali, jalan-jalan saya ke Jepang membawa kaki ini melangkah ke Otagi Nenbutsu-ji Temple. Alasan saya memilih Kuil Otagi untuk masuk ke daftar destinasi yaitu informasi awal mengenai adanya ribuan patung Buddha yang menghiasi tempat ini. Menurut saya, ini unik. Umumnya, kuil hanya berisi satu patung Buddha utama yang menjadi main attraction. Kalau sebuah kuil dihiasi ribuan patung Buddha, patung mana yang paling penting dan wajib dilihat/diperhatikan/dinikmati? Seberapa luas kuil tersebut untuk bisa menampung ribuan patung? Seperti apa cerita di balik banyaknya patung Buddha tersebut?

Dikutip dari selebaran yang dibagikan di pintu masuk, beginilah cerita singkat mengenai pembangunan serta restorasi Kuil Otagi.

Pada tahun 766, Kuil Otagi pertama kali dibangun di daerah Gion atas perintah Emperor Shotoku. Kemudian di awal Periode Heian (794 – 1192), kuil ini hancur sebagai dampak meluapnya Sungai Kamo. Kuil Otagi dibangun kembali pada rentang 918 – 984. Pada tahun 1922, Kuil Otagi dipindahkan ke lokasi sekarang (Ukyo Ward) dengan tujuan untuk dijaga kelestariannya. Namun, di lokasi yang baru, Kuil Otagi tidak terhindar dari bencana alam seperti angin topan.

Transformasi artistik atas Kuil Otagi dimulai ketika kuil ini dikelola oleh Kocho Nishimura, seorang pemahat dan restorer yang menjadi biksu. Proses transformasi dikerjakan selama sepuluh tahun dimulai di tahun 1981. Proyek utama restorasi yaitu memahat 1.200 rakan, patung yang merepresentasikan pengikut Buddha. Rakan yang nantinya akan ditempatkan di area Kuil Otagi tersebut dipahat oleh para penganut Buddha yang melakukan perjalanan suci untuk mendalami seni memahat. Setiap patung dibuat sebagai sebuah karya yang unik, spesifik, dan personal. Ada patung dengan ekspresi serius berdoa, tertawa, atau memegang objek yang menunjukkan hobi atau renjana para pemahat.

Kuil Otagi terletak di area yang cukup sepi, jauh dari perumahan penduduk, dan karena lokasinya di bukit maka kuil ini sangat hijau. Bangunannya memang persis di pinggir jalan utama, namun tidak banyak kendaraan yang lewat di daerah itu. Tidak hanya pepohonan besar dan tinggi yang menghiasi area kuil, tetapi juga rumput dan tanaman rambat masih dipelihara. Tidak ketinggalan, lumut yang menutupi sebagian besar rakan pun tidak dibersihkan, which is good.

Sejak memasuki gerbang utama, saya sudah merasakan magisnya Kuil Otagi. Rakan sudah mulai menyambut di tangga naik menuju bangunan utama. Dan berlanjut terus sampai ke bangunan kuil dan sekitarnya. Banyak rakan yang terletak begitu saja di halaman kuil, namun lebih banyak lagi yang terletak jauh dan tinggi di lereng bukit tanpa ada tangga yang memadai untuk mencapainya. Selesai berkeliling, saya menyempatkan duduk-duduk di teras kuil. Angin sepoi-sepoi membuat pepohonan besar melambaikan daunnya, menghasilkan suara alam yang menenangkan. Ibaratnya, mengunjungi kuil ini seperti masuk ke universe lain. Universe yang mengajak kita untuk berhenti sejenak dan menikmati momen ini, saat ini. Ber-ada. Be present.

Beruntungnya memasukkan Kuil Otagi ke dalam itinerary. Healing, tapi di level yang berbeda.

__

Cara menuju ke Kuil Otagi Nenbutsu-ji:

Dari pintu masuk Arashiyama Bamboo Forest, cari halte bus terdekat. Bus menuju ke Kuil Otagi yaitu bus nomor 94. Durasi perjalanan sekitar 20 menit dan tarif bus 230 yen (di Kyoto, tarif bus jauh-dekat sama yaitu 230 yen).

Jam operasional: 09.00 am – 4.15 pm (tutup setiap hari Rabu)

Tiket masuk: 500 yen.

Membaca Empat Puluh Lima Buku Sepanjang Tahun 2023, Inilah Sembilan Buku Terfavorit Versi Saya

Sempat terseok-seok di tengah tahun karena agak sibuk di pekerjaan, saya jadi sering membaca informasi ‘(insert a number) books behind schedule.’ Aduh, sedih. Bukan apa-apa, melainkan karena itu berarti saya menjadi agak jauh dari sesuatu yang pengin saya tekuni. Membaca buku.

Untungnya, saya segera tobat dan mengurangi laju di pekerjaan. Mengusahakan lebih banyak bengong di depan tumpukan buku untuk memilih bacaan berikutnya.

Hingga akhirnya, tahun 2023 habis dan yang tersisa dari rutinitas membaca yaitu membuat rekapitulasi bacaan terfavorit. Let’s gooo…

Baca juga buku terbaik yang saya baca di tahun 2018

1. Animal Farm – Goerge Orwell

Menyepakati ide bahwa novel ini masuk kategori literatur klasik. Dalam arti, akan tetap relevan dibaca pada zaman apa pun. Baca sekali, dua kali, berkali-kali, cerita Si Babik di novel ini akan tetap bisa dianalogikan dengan kondisi riil di situasi kekuasaan saat ini.

Kalau kalian punya daftar bacaan seumur hidup, maka Animal Farm harus masuk dalam daftar itu.

2. The Dating Game – Nina Ardianti

Meski nggak ada hal baru yang ditawarkan, tulisan Nina Ardianti jadi salah satu go-to romance lokal di agenda saya. Gaya nulisnya paling mendekati gaya nulis romance penulis luar yang saya nikmati. Karakter di The Dating Game ini oke. Konfliknya sederhana tapi bisa disajikan dengan menarik, dan penggambaran universe-nya nggak sempit (if you know what I mean). Dalam urusan novel romansa karya penulis lokal, saya suka Nina Ardianti (dan tentu saja aliaZalea). Terbaik!

3. Nyonya Bovary – Gustave Flaubert

Satu lagi karya klasik yang baru sempat saya baca sekarang. Topik utamanya soal hidup pernikahan. Melalui karakter Nyonya Bovary, Flaubert mencontohkan perempuan yang belum selesai dengan dirinya sebelum memutuskan untuk berkeluarga. Maksudnya, setelah menikah dan seharusnya berkomitmen dengan satu pria, Nyonya Bovary justru main mata dengan laki-laki lain. Nggak berhenti sampai di situ. Setelah memiliki hal-hal mendasar yang dibutuhkan dalam hidup, dia masih menginginkan barang-barang mevvah lainnya demi kepuasan nafsu.

4. Mao Mao & Berang-Berang – Clara Ng

Akhirnya Clara Ng bikin buku anak lagi. Well, memang buku anak, tapi sebagaimana buku anak karya Clara Ng yang lain, kisah Mao Mao ini wajib juga dibaca oleh orang tua. Terutama dalam kaitannya dengan perannya membentuk karakter anak.

Setiap baca novel anak, saya selalu mikir. Anak-anak yang diharapkan suka baca buku, apakah dipandu oleh orang tuanya dalam membaca? Apakah setiap buku di awal-awal perjalanan membaca si anak merupakan buku pilihan orang tuanya? I mean, di novel ini, diceritakan karakter Mao Mao yang pelan-pelan belajar selflove, serta memahami adanya keragaman suku dan agama di masyarakat. Bayangkan kalau anak-anak membaca topik seserius itu tanpa bimbingan orang tua.

5. Other Words for Home – Jasmine Warga

Jude baru kelas tujuh ketika pindah ke Amerika bersama ibunya, dari kampung halaman mereka (Syria). Membaca novel ini, pembaca diberi gambaran sudut pandang gadis cilik dari negara konflik akan sebuah negara sebesar dan semodern Amerika. Nggak semua pengalamannya menyenangkan, tapi…

…jadi imigran, atau secara umum, jadi orang asing di tempat baru. Atau yang lebih riil lagi, merantau untuk pertama kalinya pada usia muda, akan memunculkan perasaan bingung. Jati diri belum terbentuk, situasi lingkungan baru tidak selalu mendukung. Cara satu-satunya untuk bertahan, barangkali, berpikir positif bahwa masih banyak orang baik di dunia ini, dan berharap bertemu satu dua di antaranya.

6. Normal People – Sally Rooney

Setelah menonton (versi) serial televisinya, wajib banget baca novelnya kalau belum baca. Lalu, tonton ulang serialnya. Joss… Semua yang awalnya tak begitu kentara di dialog/ekspresi/body language para pemerannya, akan semakin terasa nyata setelah tahu motivasi karakter dan latar belakang setiap tindakan. Nggak ada alasan untuk nggak mengagumi Daisy Edgar-jones dan Paul Mescal yang membawakan dua karakter sentral dengan sangat memukau.

Normal People bicara soal orang-orang yang tidak fit in di lingkungan masyarakat. Meski terlihat normal dan menjalin pertemanan di lingkungan sekolah, mereka tetap punya sudut kosong di hati dan pikiran yang meminta untuk diisi oleh seseorang yang cocok.

Sekumpulan orang ‘tidak normal’ akan menjadi normal di lingkungan yang berisi orang-orang ‘tidak normal.’ Sad, but true.

7. Ways to Live Forever – Sally Nicholls

Cerita tentang hidup dari sudut pandang tokoh yang akan meninggal, sudah dapat satu poin buat saya. Karakter seperti ini biasanya punya pandangan yang unik soal hidup berdasar pengalaman mereka. Kesannya jadi seperti mengajari kaum muda yang merasa masih punya banyak waktu untuk hidup sesuka hati mereka, bebas, minim beban overthinking.

Lalu bayangkan kalau karakter yang akan meninggal itu anak kecil. Lebih muda daripada Hazel Grace di The Fault in Our Stars. Di pendeknya jangka waktu hidup mereka, insight apa yang akan kita dapat sebagai pembaca? Yes.

8. Funiculi Funicula – Toshikazu Kawaguchi

Saya kira buku ini berisi ajakan untuk mensyukuri yang kita miliki saat ini sebagaimana J-lit lain yang belakangan getol saya baca. Ternyata, Funiculi Funicula justru mengajak kita melepaskan beban masa lalu supaya bisa melangkah lebih ringan. Buku ini cocok dibaca oleh orang-orang yang masih punya penyesalan atas kejadian di masa lalu dan butuh motivasi untuk terus hidup dengan baik di masa sekarang dan masa depan. Life is good. 

9. The Psychology of Money – Morgan Housel

Wow, setiap baca buku soal pengelolaan keuangan, saya selalu merasa malu. Apa yang disampaikan di dalam buku, terutama soal kesalahan-kesalahan kita dalam membelanjakan uang, hampir semua terjadi pada saya. Dengan memaparkan fakta mengenai tipikal isi kepala masyarakat, buku ini bisa memberikan hantaman yang keras bagi pembaca yang sedikit sedikit self reward, sedikit sedikit self reward.

Sayalah pembaca yang dimaksud.

Sebagaimana buku nonfiksi/selfhelp lainnya, buku ini baiknya dibaca ketika kita memang benar-benar mau berubah (dalam memandang uang dan kekayaan). Kalau belum serius mau berubah, baca buku yang vibes-nya ngajari hanya akan bikin kesal. Huhu…

*

Sebagai penutup, saya pengin menyebut dua buku yang masuk kategori honorable mention. Ialah How Do You Live? dan Do Nothing. How Do You Live? yang jadi inspirasi animasi terbaru karya Hayao Miyazaki berisi ‘ajaran’ seorang paman kepada ponakannya yang masih muda. Jadi inti novel ini, secara nggak langsung membentuk karakter si anak remaja melalui pertanyaan, “Kamu mau jadi manusia seperti apa?” setelah si anak bingung menentukan bagaimana harus bereaksi atas suatu permasalahan.

Do Nothing merupakan buku nonfiksi yang mengajak kita untuk refleksi soal pekerjaan. Diselingi sejarah soal nosi bekerja, buku ini terutama mengingatkan kita untuk memahami lagi alasan/motivasi kita bekerja. Kerja, sih, tapi jangan mau dikerjain. Kurang lebih demikian.

***

Berbagai Bentuk Masa Lalu (Eps. 1)

Saya sedang membereskan beberapa buku yang tertumpuk berantakan di atas meja di salah sudut kamar. Di antara tumpukan tersebut ada buku tulis (iya, buku tulis bergaris yang biasa dipakai anak sekolah) yang ternyata ‘jurnal’ semasa pandemi. Ditulis ala kadarnya.

Nostalgia mulai terasa seiring saya membuka-buka halamannya.

Mari abadikan di sini sejumput pengalaman/rencana/ isi kepala saya pada satu masa hidup.

*

11 Agustus 2021. Sebuah kesadaran menghantam diri ini. Bahwa sering banget bingung mau menulis apa tentang hari itu. Simpulannya, ternyata hidup saya sungguh datar/monoton/tidak menarik sehingga tidak ada satu hal pun yang cukup penting untuk ditulis.

Setelah berpikir ini itu, akhirnya yang tertulis perihal betapa cerewetnya saya hari itu. Bukan cerewet yang cerewet ribut berisik, melainkan cerewet sebagai upaya untuk menimbulkan suasana yang lebih hidup.

Di rumah kami ada tiga orang, tetapi seringnya sibuk dengan aktivitas yang sendiri-sendiri. Jadi hari itu, saya sadari sedang berusaha untuk lebih peduli dengan orang rumah, terutama ibu. Seringnya saya di kamar membaca buku atau menonton film, ibu di ruang tamu menonton televisi atau menonton Youtube lewat ponsel. Sesekali ibu sing along lagu yang didengarkannya lewat penyuara jemala. Hari itu, saya pun pindah membaca buku di ruang tamu. Sembari melihat situasi sinetron di televisi, saya melontarkan pertanyaan-pertanyaan sederhana. Tipikal ibu, beliau menjawab dengan serius. Dan tipikal ibu juga yang senang ngobrol, akhirnya pembicaraan kami lumayan panjang meski melantur sana sini.

Well, nice try, dear self.

23 Agustus 2021. Saya makan di restoran yang di dindingnya ada pajangan bertuliskan ‘Don’t trust skinny cook.‘ Tulisan tersebut memunculkan ide untuk tulisan blog. Terlebih, tidak lama setelahnya saya menonton acara olahraga di televisi dan acara tersebut menampilkan instruktur olahraga berperut buncit. Beberapa waktu kemudian, saya membuka media sosial dan membaca kalimat ‘Those who can’t do, teach.’ Cocok. Sekalian hubungkan dengan yoga (Kenapa yoga? Karena ini).

Misal mau menjadikannya tulisan blog, maka struktur tulisannya akan seperti ini.

  • Those who can’t do, teach‘ akan jadi pembuka.
  • Skinny cook’ menjadi topik paragraf berikutnya.
  • Instruktur olahraga menjadi topik selanjutnya.
  • Insight: pepatah yang bilang ‘live what you learn‘ alias ‘walk the talk.’

Wow, sungguh positive vibes sekali. Yang tidak positif hanya satu. Tulisan itu, sampai saat ini, belum terwujud.

25 Agustus 2021. Saya mengikuti ujian kemampuan teknis dalam rangka assessment kepangkatan. Rasanya overwhelmed, tapi ada tidak sabarnya sedikit soal hasil ujian. Saya menulis betapa saya berada di persimpangan lebih mau lulus atau tidak lulus. Saya mau tidak lulus dengan alasan belum mau pindah dari kantor saat itu. Plus, rasanya masih ada sedikit kekecewaan akan sistem yang membuat saya terperangkap di posisi itu sehingga terpikir untuk quiet quitting.

Sebaliknya, saya mau lulus dengan alasan mengamankan posisi. Di tengah isu delayering, menjadi biasa-biasa saja bukanlah keputusan yang bijaksana. Mau tak mau, harus maju dan masuk ke kolam ‘prestasi.’ Meski tidak hebat-hebat amat atau menjadi yang paling baik, setidaknya saya berada satu tingkat lebih tinggi dibandingkan sebagian besar pekerja lainnya. Selain itu, keinginan untuk lulus juga disebabkan oleh perasaan ‘malu kalau tidak lulus.’ Malu kepada orang lain mungkin bisa diatasi dengan menghindar, tapi bagaimana dengan malu kepada diri sendiri? Meski sedang demotivasi, tetap ada ego, ‘Masa iya, ujian begitu saja bisa gagal? Masa iya saya sebodoh itu?’

Tulisan hari itu diakhiri dengan kesadaran bahwa apa pun hasilnya, itulah yang terbaik menurut semesta. Ayo, belajar melihat sisi positif dari setiap kejadian (termasuk yang tidak sesuai harapan).

Update info tiga tahun kemudian: saya lulus, pindah dari kantor itu, dan mulai merasakan ada sedikit peningkatan dari demotivasi menjadi agak sedikit demotivasi. Lumayan.

*

Sekian nostalgia kali ini. Akan saya sambung di episode berikutnya. Janji.