Yang Bisa Dilakukan di Taman Hutan Raya Bandung

Ada banyak hal yang bisa dilakukan di Taman Hutan Raya (Tahura) Ir. H. Djuanda di kawasan Dago – Bandung ini. Selain karena luasnya, di kawasan ini memang terdapat banyak situs-situs yang menarik untuk dijadikan ajang melepas penat dari hiruk pikuk hari kerja. Mulai dari gua peninggalan Jepang dan Belanda, penangkaran rusa, curug, hingga museum. Semuanya ada dalam satu kawasan.

Segera setelah melewati pintu masuk, pengunjung akan disuguhkan sebuah papan informasi yang berisi sebagian lokasi wisata yang ada di kawasan ini.
 

Saya bilang sebagian, karena di dalam kawasan Tahura, ada beberapa papan petunjuk yang lebih rinci seperti ini:

*

Lokasi wisata terdekat setelah pintu masuk adalah Goa Jepang. Gua ini digunakan oleh para tentara Jepang untuk beristirahat. Sebagian besar lorong difungsikan sebagai kamar peristirahatan lengkap dengan ventilasi udara, sedemikian rupa sehingga meskipun masing-masing lorong tergolong sempit tapi tidak terasa pengap.

Kurang lebih satu kilometer dari Goa Jepang, terdapat Goa Belanda. Kalau Goa Jepang adalah tempat peristirahatan, maka Goa Belanda difungsikan sebagai penjara serta tempat penyiksaaan tahanan. Mungkin karena itu, ada pengunjung yang bilang bahwa aura di dalam Goa Belanda ini agak berbeda. Semacam bikin merinding. Oke, bahas yang serem-serem tidak perlu lama-lama. Bahaya kalau sampai terbawa mimpi, apalagi untuk yang tidurnya masih sendiri.

Di pintu masuk setiap gua, sudah stand by penjaja senter sewaan dengan tarif sewa lima ribu rupiah (potensi PNBP nih, halah). Di antara mereka juga ada pemandu yang bisa diminta untuk memberi penjelasan mengenai sejarah tempat tersebut. Tarifnya? Dua puluh ribu rupiah saja.

Oiya, pada dinding di dalam Goa Jepang dan Goa Belanda ada pengunjung yang berbaik hati meninggalkan jejak seperti ini. Hayo, siapa yang punya tulisan ini? Tolong jangan ulangi di tempat lain. Dan tolong jangan ada yang meniru kelakukan orang-orang macam ini.

IMG_0221

Secara umum, kondisi jalanan di dalam kawasan Tahura sudah lumayan bagus. Sudah diaspal, meskipun di beberapa titik aspalnya rusak. Selain itu, jalanan yang berupa tangga sudah dibeton.

IMG_7449

Dengan luasnya kawasan ini, tentu saja ada fasilitas warung dan penjual makanan di banyak tempat. Makanan yang dijual juga beragam. Mulai dari makanan kecil (rujak, cilok, jagung bakar, es potong) hingga makanan berat di warung-warung makan (kupat tahu, nasi liwet, bakso).

Perihal penjaja makanan ini, saya merasa bahwa mereka kurang tertata rapi. ‘Taman hutan raya’ jadi lebih mirip ‘jalan raya’ lengkap dengan motor dan mobil berseliweran. Oh, jangan lupa. Ada kuda juga. Kuda-kuda ini disewakan untuk pengunjung yang ingin menikmati kawasan Tahura dengan cara lain selain jalan kaki.

Bicara soal jalan kaki, di dekat pintu masuk juga disediakan sepeda gunung yang bisa disewa. Tarifnya Rp15.000,- tapi entahlah untuk berapa lama. Di dalam kawasan juga ada banyak ojek yang siap sedia mengantarkan pengunjung agar bisa mengunjungi lebih banyak tempat dalam waktu yang terbatas. Beberapa lokasi memang lumayan jauh, sih. Terutama curug yang berjarak sekitar lima kilometer dari pintu masuk.

Akhir pekan kemarin, waktu yang kami punya sangat terbatas. Saya hanya sempat mengunjungi Goa Jepang dan Goa Belanda. Kali berikutnya ke Tahura, akan saya siapkan satu hari penuh plus menyewa sepeda, tentunya agar bisa menjelajah lebih banyak. Pengin banget ke curug. Aakkk!

Nah, sepertinya ini penyakit di banyak tempat wisata di Indonesia, deh. Minim informasi. Tadinya, untuk tempat wisata yang model kebun raya seperti ini, saya berharap pengunjung diberikan selebaran semacam peta kawasan supaya ada bayangan mengenai letak lokasi wisata yang satu dengan lokasi wisata yang lain. Juga bisa mempertimbangkan akan mendatangi yang mana terlebih dahulu. Buat saya, itu akan sangat membantu.

Pada akhirnya, Tahura bisa menjadi lokasi weekend gateaway yang menyenangkan. Banyak yang bisa dilakukan, dan pastinya menghabiskan waktu di antara pepohonan akan bikin kita menjadi lebih segar. Yuk, berkunjung ke Tahura.

***

NB: Termasuk dalam kawasan Tahura ini juga adalah Tebing Keraton, yang dijuluki bukit instagramnya Bandung ituh. Mengenai Tebing Keraton, akan saya ceritakan di tulisan lain. :))

City Backpackers Hostel

Kalau kalian hanya punya waktu super singkat di Singapura dan ingin mengunjungi lokasi-lokasi wajib seperti kawasan Singapore River – Raffles’ Landing Site – Clarke Quay, kawasan Merlion – Esplanade – Marina Bay, dan kawasan Chinatown – Buddha Tooth Relic Temple and Museum – Sri Mariamman Temple, maka City Backpackers Hostel di Hong Kong Street adalah pilihan yang tepat. Semua lokasi tersebut dapat ditempuh hanya dengan berjalan kaki.

Untuk bisa sampai di City Backpackers, kalian dapat naik MRT dari bandara Changi atau pelabuhan ferry HarbourFront ke stasiun Clarke Quay. Keluar dari pintu keluar E (exit E), menyeberang menggunakan jembatan penyeberangan lalu berjalan sesuai arah lalu lintas di sisi tersebut. Tidak terlalu jauh sampai kalian menemukan Hong Kong Street lalu belok kiri. City Backpackers ada di sebelah kiri jalan.

Jika kalian tiba di Singapura sore hari, maka Chinatown bisa menjadi tujuan pertama untuk dijelajahi. Untuk menuju ke Chinatown, kalian harus kembali ke jalan besar, yaitu jalan sebelum kalian berbelok ke Hong Kong Street, dan sekarang mengambil jalan berlawanan dengan jalan kalian datang dari statiun Clarke Quay. Dengan kata lain, dari Hong Kong Street, kalian berbelok ke kiri. Berjalan lurus melewati Hong Lim Park. Terus sampai kalian menemukan (Mall) China Town Point. Sekitar 200 meter dari (Mall) Chinatown Point adalah kawasan Chinatown tempat wisatawan bi(a)sa membeli oleh-oleh dengan harga miring. Buddha Tooth Relic Temple and Museum dan Sri Mariamman Temple berada di kawasan tersebut dan dapat ditempuh dengan berjalan kaki selama 2-5 menit

Keesokan harinya, kalian bisa mengunjungi kawasan lainnya. Dari City Backpackers ke kawasan Singapore River, kalian tinggal berjalan ke arah kiri hostel (berlawanan dengan arah kedatangan kalian dari stasiun MRT Clarke Quay). Berjalan lurus melewati gang-gang kecil sampai menemukan Singapore River. Di sepanjang pinggiran sungai tersebutlah, ketika malam, menjadi pusat keramaian. Ada banyak pilihan restoran, club, pub untuk menikmati malam, dan tentunya kalian harus merogoh kantong cukup dalam karena restoran di sana bukan tempat makan kaki lima.

Dari kawasan Singapore River menuju ke kawasan Merlion, kalian tinggal berjalan ke arah Hotel Fullerton, lalu menyeberangi jalan raya lewat bawah (kolong). Jalan bawah tersebut langsung menuju ke taman tempat patung Merlion berdiri dengan gagahnya. Dari Merlion, gedung kesenian Esplanade dan Marina Bay Sands sudah terlihat. Ikuti saja satu-satunya jalan yang mengarah ke gedung kesenian Esplanade. Sedangkan untuk ke Marina Bay Sands, kalian tinggal terus berjalan melewati Esplanade dan menaiki jembatan yang membelah teluk.

Dari segi lokasi, nilai sepuluh untuk City Backpackers Hostel. Nilai tujuh untuk kamar yang rapi tapi minus loker tempat barang-barang berharga. Nilai enam untuk toilet dan kamar mandi yang berjumlah masing-masing dua padahal di lantai tersebut, ada empat kamar dan masing-masing kamar terdiri dari empat bed.

Apabila kalian adalah wisatawan dengan anggaran terbatas, City Backpackers Hostel dapat menjadi opsi utama.

***

[Rasa Bahasa] Bahasan Bahasa dalam Novel

Perhatian banget, sih, tidak. Tetapi ketika saya menikmati sebuah novel dan ada bahasan kebahasaan di dalamnya, ya, tetap saja senyum-senyum sendiri. Misalnya saja saat ini, saya sedang membaca Paper Towns karya John Green dan menemukan dua adegan menarik terkait bahasa seperti berikut.

1.
Margo’s list (di sebuah kertas):
Vaseline
six-pack, Mountain Dew
One dozen Tulips
one Bottle Of water,
Tissues
one Can of blueSpray paint

Quentin: “Interesting capitalization.”

Margo: “Yeah. I’m a big believer in random capitalization. The rules of capitalization are so unfair to words in the middle.”

2.
Margo: “I don’t think she ever said anything that wasn’t an attempt at undermination.”

Quentin: “Undermining.”

Margo: “Thank you, Annoying McMasterGrammician.”

Quentin: “Grammarian.”

Margo: “Oh my God I’m going to kill you.”

Tersenyum juga ketika membacanya? Ternyata, menurut Margo, polisi bahasa itu sedemikian menyebalkan. Haha.. Tapi yang paling berkesan sepanjang sejarah saya membaca adalah yang berikut. Dikutip dari Point of Retreat – Titik Mundur karya Colleen Hoover.

3.
Kiersten: “Kalau kalian tanya aku, menurutku itu tai kucing.”

Lake: “Jangan bilang tai kucing.”

Kiersten: “Maaf, Mom bilang, Badan Komunikasi Nasional bertanggung jawab karena menetapkan umpatan sebagai kata-kata yang memancing kemarahan. Mom bilang, andai semua orang cukup sering menggunakannya, kata-kata kasar tidak akan lagi dianggap sebagai makian dan pasti tidak ada yang merasa tersinggung oleh kata-kata itu.

Lake: “Ibumu mendorongmu untuk memaki?”

Kiersten: “Aku sih tidak melihatnya seperti itu. Mom lebih seperti mendorong kami untuk sedikit demi sedikit melemahkan sebuah sistem dengan cara menggunakan secara berlebihan kata-kata yang dibuat untuk mencederai perasaan, karena sebenarnya kata-kata kasar toh sekadar beberapa huruf yang dipadupadankan, seperti halnya kata lain. Memang itulah sebenarnya, kata-kata hanyalah padu-padan antarhuruf. Misalnya kita ambil kata ‘kupu-kupu’. Bagaimana jika suatu hari nanti seseorang memutuskan bahwa ‘kupu-kupu’ adalah kata makian? Orang pun akan mulai memakai kata ‘kupu-kupu’ sebagai kata penghinaan, juga untuk menekankan hal-hal tertentu dengan cara yang negatif. Padahal kata yang sesungguhnya tidak bermakna apa-apa. Anggapan negatif yang diberikan orang pada kata itulah yang membuatnya dianggap sebagai makian. Kalau kita memutuskan untuk sering menyebut ‘kupu-kupu’, akhirnya orang akan berhenti ambil pusing. Nilai kemarahan terhadapnya menjadi berkurang dan ‘kupu-kupu’ menjadi sekadar kata. Sama seperti kata-kata kotor yang lain. Jika semua orang mulai sering mengucapkannya, kata-kata itu tidak lagi menjadi kata kotor. Pokoknya, begitulah yang dibilang ibuku.”

Nah, ketika membaca lagi kutipan novel di atas, saya jadi teringat kata-kata Fajar Arcana di Workshop Cerpen Kompas 2015 minggu lalu. Katanya, semakin lama, sebuah kata kerap mengalami pergeseran (makna) dari makna aslinya, dan tugas sastra adalah mengembalikan makna kata tersebut ke asalnya.

***