Keiko Furukura Bicara Normal yang Ideal

 

“Dunia normal adalah dunia yang tegas dan diam-diam selalu mengeliminasi objek yang dianggap asing. Mereka yang tak layak akan dibuang.”

Bagi saya, kutipan dari halaman 82 novel Gadis Minimarket karya Sayaka Murata di atas merupakan ide awal novel tersebut. Namun, keseluruhan novel lebih dari sekadar Keiko yang merasa abnormal mencoba berbaur di dunia yang dianggap normal.

Setidaknya ada tiga gambaran mengenai konsep normal yang disampaikan penulis melalui berbagai karakternya. Pertama, Keiko yang merasa normal dalam keabnormalannya. Kedua, Shiraha yang berusaha menggugat terminologi normal. Ketiga, masyarakat yang hidup dalam konsepsi normal yang mereka pelihara secara turun temurun.

Baca juga: Agama baru Paulo Coelho

(Ab)normal versi Keiko adalah bekerja paruh waktu di minimarket. Semakin menjadi pertanyaan/kekhawatiran ketika Keiko menjalani pekerjaan tersebut selama belasan tahun. Masyarakat bertanya-tanya, “Apa tidak ada pekerjaan lain?’ atau “Apa tidak berniat mencari pekerjaan tetap?” Yup, bekerja paruh waktu dianggap kelas dua. Sesuatu yang tidak serius. Bersifat jangka pendek alias menunjukkan minimnya perencanaan akan masa depan. Selain itu, penghasilan yang didapat sebagai pekerja paruh waktu dianggap tidak cukup untuk membiayai hidup berumah tangga. Oh, Keiko memang tidak berencana untuk berumah tangga. Mungkin ini yang membuat ia nyaman dengan penghasilan dari pekerjaan paruh waktu. Sayangnya, perasaan nyaman tersebut justru menambah kadar keabnormalan Keiko di mata masyarakat. Keiko adalah satu dari banyak perempuan yang kerap diberondong pertanyaan “Kapan?” di acara kumpul keluarga.

Ada feminis yang mau berkomentar?

Fakta bahwa karakter Keiko adalah perempuan dan bekerja paruh waktu adalah pilihan yang ia ambil secara sadar, menunjukkan upaya yang manis dari penulis untuk menjelaskan (kampanye mendukung) feminisme dengan cara yang mudah dipahami. Perempuan memiliki hak untuk menentukan pilihan.

Tentu saja uraian di atas merujuk pada Keiko dewasa, ya. Makanya gambaran mengenai masa kecil Keiko agak sia-sia di novel ini. Tiga kejadian yang diceritakan, yang sepertinya bertujuan untuk menjelaskan keabnormalan Keiko dewasa, terasa sedikit off. Keiko kecil di kejadian-kejadian tersebut lebih cocok tumbuh menjadi seorang pembunuh berantai, bukan perempuan yang renjananya bekerja di minimarket.

Meski Keiko yang menjadi tokoh sentral, karakter paling menarik justru Shiraha. Gambaran masyarakat toxic diringkas dengan baik oleh Shiraha melalui keluhan-keluhannya, juga melalui pilihan sikapnya. Sebagai laki-laki, ia merasa terjebak dalam stereotip bahwa laki-laki yang harus bekerja dan membiayai kehidupan rumah tangga. Memang dasarnya Shiraha ini pemalas, ya. Ia malah bertingkah layaknya korban peradaban, tanpa berusaha melawan dengan secuil pun tindakan. Dia justru menjadi parasit dalam masyarakat toxic yang ia keluhkan.

“Jadi, kau tak suka orang lain mencampuri hidupmu, tapi memilih jalan hidup yang tujuannya membungkam orang-orang yang mengomentarimu?” hlm. 90

Melalui dua karakter tersebut, bisa dibilang bahwa Sayaka Murata berusaha adil dengan melihat dari dua sisi. Ternyata tidak cuma perempuan yang bisa merasa abnormal di peradaban modern yang belum banyak berubah sejak Zaman Jomon. Ternyata ada juga laki-laki yang merasa tidak nyaman berada di bawah payung laki-laki-harus-jadi-tulang-punggung-keluarga. Rasanya, pembaca laki-laki bisa terhubung dengan karakter Shiraha dan pembaca perempuan dengan karakter Keiko.

Masyarakat toxic yang dikeluhkan Shiraha memang masyarakat yang bisanya cuma nurut. Konsep warisan generasi sebelumnya tertanam di kepala mereka dan menjadi kebenaran absolut. Perempuan (juga laki-laki) harus bekerja penuh waktu, pacaran, menikah, punya anak. Itulah yang disebut normal. Ketika Keiko menunjukkan tanda-tanda ke arah tersebut, masyarakat beramai-ramai memberi selamat, menunjukkan kelegaan, turut berbahagia. Untuk sejenak, Keiko bisa terbebas dari pandangan abnormal. Namun, hanya sejenak. Karena ternyata masyarakat tidak mudah terpuaskan.

Tidak ada satu pun karakter di novel ini yang mendukung dengan tulus pilihan yang diambil oleh Keiko. Shiraha? Tidak juga. Keiko benar-benar seperti buruan dan diserbu dari berbagai sisi.

Yah, pada akhirnya, masing-masing orang senantiasa berjuang menemukan zona normal. Ada yang bertahan pada prinsip pribadi, ada juga yang menyerah pada pandangan masyarakat. Bagi Keiko, normal berarti menjadi pegawai minimarket. Caranya mudah, katanya di halaman 93, pakai seragam dan bertindak sesuai buku panduan. Untungnya, penulis secara halus menggugat konsep normal masyarakat melalui sebuah pertanyaan yang disampaikan tokoh Keiko.

“Apakah punya anak baik untuk umat manusia?”

***