Ia Ada di Dekatmu

Aku adalah debu yang merasuk cepat ke matamu
yang kau rayu agar segera pergi dengan airmata sendu
Entah kebetulan entah apa
Tuhan tak pernah bilang siapa yang sedang Ia beri pertanda

Aku adalah basah di telapak tanganmu
kau usapkan lembut ke dadamu
Aku pernah berada sedekat itu dengan detak jantungmu

Aku adalah garis di telapak tanganmu
yang ‘kau caritahu artinya pada seorang cenayang kampung
Aku pernah berada sedekat itu dengan denyut nadimu

Aku menunggu Ia bicara tentang takdir kita berdua

Aku adalah angin yang mengibaskan rambutmu
yang kadang kamu tahan dengan buku puisi kesukaanmu

Entah kebetulan entah apa
Ia tak pernah bilang untuk berhenti mencoba

Aku adalah badai yang memorak-porandakan rumahmu
Aku adalah api yang membakarnya kemudian
Aku adalah relawan yang menolongmu pulih
Aku adalah yang harus kamu sadari keberadaannya
Sekarang

atau tidak tidak sama sekali

*

Kolavorasi Rahasia

(1)

Kamu mampu menyulam bahasa menjadi puisi yang semua orang memujanya. Kamu mampu merajut asa menjadi cinta yang semua orang rela mengemis untuk merasakannya. Kamu mampu membalikkan luka menjadi mahkota yang semua orang memperebutkannya.

Sementara itu, aku membariskan aksara yang hanya kamu saja yang dapat membacanya.  Menyusun cerita yang hanya kamu saja yang dapat memahaminya. Menyatukan keping- keping kenangan yang hanya kamu saja yang dapat mengingatnya.

Duniaku seolah tiada guna. Dan duniamu adalah segalanya. Entah kapan aku tak ada, kamu tiada, tinggal kita, dalam satu bahasa saja. Cinta.

(2)
Kamu telah membuahkan asa, dengan mengangkatku dari ketiadaan melalui sakralnya pengakuan. Pengakuan mengenai hal-hal yang sulit aku terima ketika dulu hidupku hanya berisi kata-kata tanpa tindakan nyata. Tindakan nyata yang bagi sebagian orang adalah pekerjaan sia-sia; mencintai dengan apa adanya.

Kamu berhak memanen cinta, dari bibit rindu yang kausemai dan aku pelihara. Nanti, ketika semesta bekerja sama memberi musim yang wajahnya tidak lagi masam. Atau ketika pelangi datang tanpa adanya ujian berupa hujan.

Aku berharap kamu menunggu, pada ujung jalan setapak yang kulalui dengan bimbingan doamu yang lentera. Terang seperti kunang-kunang yang cahayanya aku lihat sebagai senyuman; senyumanmu adalah cahaya. Aku menikmati selangkah demi selangkah menuju kebahagiaan, ringan namun tajam menghunjam dada.

(3)
Kamu pencipta bait-bait indah yang aku baca sebagai puisi rindu, sementara aku hanyalah seniman liar yang sedang mengais asa. Goresan penamu ibarat senja bertahtakan pelangi, sementara aku adalah pemulung aksara yang sedang birahi. Kepada siapa cintamu kauberi, aku ingin tahu. Meski kamu takkan mau tahu kepada siapa nikmat mengamatimu akan kubagi. Aku memiliki rindu yang tak sulit dimengerti, kamu hanya perlu menjadi jawaban atas pertanyaan kepada siapa peluk ini harus kubagi.

Kamu adalah pemilik kata-kata sederhana, bagiku yang bosan dengan rumitnya dunia. Aku hendak pulang, ke kenyamanan puisi yang paling. Aku tak boleh ragu. Karena keyakinan inilah yang membuatku rela menunggu, suatu hari semesta akan mengembalikanmu kepadaku.

Aku menjagamu dari kejauhan. Ditemani doa-doa yang sewaktu-waktu mengunjungi Tuhan. Semoga hidupmu penuh warna, sehingga aku bisa berbahagia karena menganggap diri sebagai pelukis rasa yang transenden. Meski sebenarnya, kamu adalah pencipta cinta yang memahami kata-kata, sementara aku pemuja rahasia yang baru belajar mengeja.

*

 

Terbangun Sendiri

Malam-malam gulita
tak buta dusta
tak seperti kita, buta segala

Gaun-gaun klasik pisik
tak tahan gelitik
tak seperti bilik, diam berbisik  

Cumbu-cumbu merayu
tak layu-layu
tak seperti milikmu, milikku

*

“Sudah pagi, Sayang
Kita harus bersiap, berpisah.”

Tak sempat kudengar bunyi sepatumu tadi
Tak sempat kuharap terbangun begini, sendiri
Aku tak sempat berharap
Tak pernah berharap

*

Image

[#PuisiHore2 – #8 – Judul Lagu NOAH]