Berbagai Bentuk Masa Lalu (Eps. 1)

Saya sedang membereskan beberapa buku yang tertumpuk berantakan di atas meja di salah sudut kamar. Di antara tumpukan tersebut ada buku tulis (iya, buku tulis bergaris yang biasa dipakai anak sekolah) yang ternyata ‘jurnal’ semasa pandemi. Ditulis ala kadarnya.

Nostalgia mulai terasa seiring saya membuka-buka halamannya.

Mari abadikan di sini sejumput pengalaman/rencana/ isi kepala saya pada satu masa hidup.

*

11 Agustus 2021. Sebuah kesadaran menghantam diri ini. Bahwa sering banget bingung mau menulis apa tentang hari itu. Simpulannya, ternyata hidup saya sungguh datar/monoton/tidak menarik sehingga tidak ada satu hal pun yang cukup penting untuk ditulis.

Setelah berpikir ini itu, akhirnya yang tertulis perihal betapa cerewetnya saya hari itu. Bukan cerewet yang cerewet ribut berisik, melainkan cerewet sebagai upaya untuk menimbulkan suasana yang lebih hidup.

Di rumah kami ada tiga orang, tetapi seringnya sibuk dengan aktivitas yang sendiri-sendiri. Jadi hari itu, saya sadari sedang berusaha untuk lebih peduli dengan orang rumah, terutama ibu. Seringnya saya di kamar membaca buku atau menonton film, ibu di ruang tamu menonton televisi atau menonton Youtube lewat ponsel. Sesekali ibu sing along lagu yang didengarkannya lewat penyuara jemala. Hari itu, saya pun pindah membaca buku di ruang tamu. Sembari melihat situasi sinetron di televisi, saya melontarkan pertanyaan-pertanyaan sederhana. Tipikal ibu, beliau menjawab dengan serius. Dan tipikal ibu juga yang senang ngobrol, akhirnya pembicaraan kami lumayan panjang meski melantur sana sini.

Well, nice try, dear self.

23 Agustus 2021. Saya makan di restoran yang di dindingnya ada pajangan bertuliskan ‘Don’t trust skinny cook.‘ Tulisan tersebut memunculkan ide untuk tulisan blog. Terlebih, tidak lama setelahnya saya menonton acara olahraga di televisi dan acara tersebut menampilkan instruktur olahraga berperut buncit. Beberapa waktu kemudian, saya membuka media sosial dan membaca kalimat ‘Those who can’t do, teach.’ Cocok. Sekalian hubungkan dengan yoga (Kenapa yoga? Karena ini).

Misal mau menjadikannya tulisan blog, maka struktur tulisannya akan seperti ini.

  • Those who can’t do, teach‘ akan jadi pembuka.
  • Skinny cook’ menjadi topik paragraf berikutnya.
  • Instruktur olahraga menjadi topik selanjutnya.
  • Insight: pepatah yang bilang ‘live what you learn‘ alias ‘walk the talk.’

Wow, sungguh positive vibes sekali. Yang tidak positif hanya satu. Tulisan itu, sampai saat ini, belum terwujud.

25 Agustus 2021. Saya mengikuti ujian kemampuan teknis dalam rangka assessment kepangkatan. Rasanya overwhelmed, tapi ada tidak sabarnya sedikit soal hasil ujian. Saya menulis betapa saya berada di persimpangan lebih mau lulus atau tidak lulus. Saya mau tidak lulus dengan alasan belum mau pindah dari kantor saat itu. Plus, rasanya masih ada sedikit kekecewaan akan sistem yang membuat saya terperangkap di posisi itu sehingga terpikir untuk quiet quitting.

Sebaliknya, saya mau lulus dengan alasan mengamankan posisi. Di tengah isu delayering, menjadi biasa-biasa saja bukanlah keputusan yang bijaksana. Mau tak mau, harus maju dan masuk ke kolam ‘prestasi.’ Meski tidak hebat-hebat amat atau menjadi yang paling baik, setidaknya saya berada satu tingkat lebih tinggi dibandingkan sebagian besar pekerja lainnya. Selain itu, keinginan untuk lulus juga disebabkan oleh perasaan ‘malu kalau tidak lulus.’ Malu kepada orang lain mungkin bisa diatasi dengan menghindar, tapi bagaimana dengan malu kepada diri sendiri? Meski sedang demotivasi, tetap ada ego, ‘Masa iya, ujian begitu saja bisa gagal? Masa iya saya sebodoh itu?’

Tulisan hari itu diakhiri dengan kesadaran bahwa apa pun hasilnya, itulah yang terbaik menurut semesta. Ayo, belajar melihat sisi positif dari setiap kejadian (termasuk yang tidak sesuai harapan).

Update info tiga tahun kemudian: saya lulus, pindah dari kantor itu, dan mulai merasakan ada sedikit peningkatan dari demotivasi menjadi agak sedikit demotivasi. Lumayan.

*

Sekian nostalgia kali ini. Akan saya sambung di episode berikutnya. Janji.

Kau Tanya Kujawab

Circa 2018 ketika zamannya mengikuti suatu akun Twitter karena isi twitnya (tanpa tahu siapa manusia di baliknya), saya menemukan akun Prie GS (@Prie_GS). Twitnya menyenangkan, terkadang kalimatnya sederhana tapi overthinking saya menganggap kalimat sederhana tersebut mengandung makna yang lebih dalam. Belakangan saya tahu bahwa Prie GS adalah penulis dan public speaker yang mengawali karirnya sebagai wartawan. Sungguh menjawab kemampuan beliau dalam merangkai kalimat.

Salah satu segmen yang sering beliau ulang di twitnya yaitu ‘kau tanya kujawab’. Di kolom balasan, pengikut beliau akan mengajukan pertanyaan macam-macam dan Pak Prie GS akan menjawab juga dengan ‘sembarangan’. Iya, terkesan sembarangan padahal nggak sembarangan sembarangan banget. Ya gitulah maksudnya. πŸ˜€

Berikut ini saya sarikan beberapa pertanyaan warganet dan jawaban Pak Prie GS dengan tujuan tak lain tak bukan agar saya bisa dengan mudah membacanya lagi di kemudian hari. Semoga beberapa tanya jawab berikut ini bisa memberikan manfaat juga untuk pembaca tulisan ini.

Q: Katanya jangan tergantung pada manusia, tapi kan kita makhluk yang saling ketergantungan?
A: Bukan tergantung tapi saling bergantung.

Q: Bagaimana menyikap teman yang malas?
A: Yang penting kamu rajin.

Q: Apa yg perlu dikhawatirkan dari masa depan?
A: Jika kau berjalan mundur.

Q: Bagaimana cara cepat mengetahui sesuatu itu keinginan Tuhan atau cuma keinginan kita?
A: Jika kau mendekat pada Tuhanmu.

Q: Kenapa kerjaan ndak ada habisnya?
A: Apakah kamu ingin jadi penganggur? Syukurilah.

Q: Kenapa harus pesimis, sedangkan hidup ini harus optimis?
A: Pesimis itu penting sebagai kerendahhatian.

Q: Tips rukun dengan saudara?
A: Memahami lalu mengalah.

Q: Apakah sebaiknya media sosial macam Twitter, FB, IG, dll dihilangkan?
A: Yak perlu. Akan hilang jika waktunya tiba.

Q: Bagaimana cara mencintai yang benar?
A: Jangan sambil ngarep.

Q: Cara menenangkan diri?
A: Jangan mudah berprasangka.

Q: Bolehkah menginginkan milik orang lain?
A: Jangan. Hakmu saja telah berkelebihan.

Q: Apa nasihat untuk saya dalam meniti dan menata jalan ‘pulang’?
A: Fokus.

Q: Jodoh saya kapan datang?
A: Semoga tak lama lagi. InsyaAllah.

***

Membaca sebagai Jeda dari Riuhnya Dunia: Catatan atas Buku Terbaik 2022

Di bulan Juli saya sempat kelabakan. Menurut catatan Goodreads, I was 3 books behind schedule. Ini bikin saya bertanya-tanya, kok bisa? Apakah saya mengalami reading slump? Apakah saya memilih buku yang tidak menarik? Atau apakah di waktu luang, saya lebih memilih kegiatan lain selain membaca?

Pada saat yang bersamaan, saya jadi memikirkan kembali tujuan saya membaca dan menetapkan target baca. Apakah untuk gaya-gayaan? Menantang diri sendiri? Berlomba dengan sesama pembaca? Atau apa?

Jawabannya, kurang lebih:

Entah ini hanya pembenaran atau bukan. Tetapi saya sampai pada sebuah nosi bahwa jumlah target baca saya diseting untuk memastikan work life balance. Kerja keras sepanjang minggu, baca buku ketika wiken. Teorinya seperti itu. Lalu ketika saya mengalami 3 books behind schedule, artinya saya terlalu banyak bekerja hingga tak sempat membaca buku. This is not good. Saya harus kembali ke jalur yang benar: kerja seoptimalnya, membaca senikmatnya.

Selain itu, dengan pekerjaan yang datang silih berganti dan lalu lintas informasi yang serba cepat, saya menganggap kegiatan membaca sebagai jeda. Sama dengan bengong atau leyeh-leyeh tanpa melakukan apa pun. Membaca, menikmati setiap kalimat tanpa skip punya nuansa romantisme tersendiri. Seperti ingin berkata, β€œSilakan kalian jungkir balik melakukan hal-hal produktif, saat ini saya cuma mau bergerak pelan dan menikmati setiap detik yang saya punya.”

Baca juga tulisan ini.

*

Well, dari sekian banyak buku yang saya baca, tentu saja ada yang tidak worth it dibaca dengan serius dan pelan-pelan. Tidak perlu fokus ke yang itu, ya. Mendingan kita fokus ke daftar buku yang memang menyenangkan dan bermanfaat buat saya kita.

Saya membagi buku terbaik tahun 2022 menjadi dua kategori; best romance alias romansa terbaik dan faith in humanity, restored alias menumbuhkan sisi kemanusiaan.

1. Best Romance

Senang sekali akhirnya membaca Gadis Jeruk. Sudah lama sekali buku ini masuk keinginan-baca dan akhirnya kesampaian di tahun 2022. Surprisingly, Gadis Jeruk dan Gadis Kretek punya premis yang mirip. Sama-sama tokoh laki-laki yang di jelang kematiannya, mengingat lagi sebuah era ketika ia jatuh cinta di masa lalu.

Untuk Postscript, sempat kaget karena saya baru tahu kalau PS. I Love You ada sekuelnya! Begitu menemukannya di toko buku di bandara, saya langsung angkut ke kasir. Dan itu bisa dibilang keputusan terbaik tahun itu. Postcript berhasil bikin saya mewek dan sempat kena book hangover. Agak lama baru saya rela untuk baca buku lagi dan sejenak melupakan kisah Holly di hidup lanjutannya.

Tales from Shakespeare yang saya baca yaitu versi retold for children, jadi beneran dibuat sangat sederhana. Satu boxset berisi 14 buku dan masing-masing buku sangat tipis (rata-rata 45 halaman) dengan ukuran font yang cukup besar. Namun, dengan gaya bercerita yang disederhanakan pun, saya bisa merasakan betapa rumitnya kisah cinta yang bangun oleh Shakespeare. Bahkan dari empat belas cerita tersebut, susah sekali menentukan satu yang paling bagus. Setiap cerita punya kerumitan dan keindahannya sendiri-sendiri. Salut, sih. Baru sekarang paham alasan orang-orang suka karya beliau dan sudah saatnya juga saya bilang, “Shakespeare gila banget (kerennya).”

2. Faith in Humanity, Restored

Tahun 2022 terdiri dari beberapa re-read. Dua di antaranya yaitu Orang Asing serta Iblis dan Miss Prym. Saya lupa trigger teknisnya (entah baca artikel, nonton film, entah yang lain), tapi saya ingat akhirnya sama memutuskan untuk re-read yaitu karena ingin menemukan makna lebih dari buku-buku yang saya baca. Artinya, dari sekian banyak buku yang saya baca sepanjang hidup, rasanya ingin sekali memiliki beberapa judul yang benar-benar saya suka dan saya paham dan saya sebut judulnya dengan bangga ketika ada yang bertanya tentang buku favorit. Syukurnya, kedua buku di atas jelas masuk ke dalam kategori tersebut. All time favorite.

A Man Called Ove dan Silence punya nuansa yang sama yaitu nuansa book-to-movie adaptation. Saya suka sekali dengan film Silence sehingga sejak menonton filmnya, saya sudah ingin membaca bukunya. Sayangnya (atau syukurnya?) baru kesampaian sekarang. Book to movie adaptation yang super berhasil. Kedua media cerita tersebut memberi kenikmatan yang berbeda namun sama. Do you know what I mean?

Sebaliknya, saya baca A Man Called Ove dengan kelabakan karena tak lama lagi filmnya akan tayang di bioskop Indonesia. Mumpung masih ada waktu, saya upayakan untuk sempat membaca bukunya dulu sebelum menonton versi filmnya. Membaca Ove was a life-changing experience buat saya. Karakter Ove yang ingin sendirian, tapi ‘diganggu’ tetangganya yang kekeuh mau bikin Ove lebih ceria. Kenapa? Jiwa bitter saya kesal sekali dengan tetangga yang sok ikut campur, tapi kemudian saya harus mengalah pada kenyataan bahwa dunia kita memang butuh lebih banyak rasa empati yang dibangun dari cerita-cerita yang menghangatkan hati seperti itu. Akur.

Ngomong-ngomong soal bacaan yang meninggalkan jejak lebih banyak dan lebih lama di hati, membuat daftar best-of seperti ini saya anggap sebagai upaya untuk mengingat pengalaman menyenangkan ketika membaca buku-buku tertentu. Selain itu, saya juga terbuka akan masukan soal best-of dari siapa pun. Jadi, kalau kalian punya tulisan/catatan soal buku yang kalian suka, jangan lupa cantumkan tautannya di kolom komentar. Saya akan senang berkunjung.