[Cerpen] Permainan Komitmen

Bagi beberapa orang, barangkali komitmen hanya sekadar permainan. Si pemain akan naik level bila ia berhasil menyelesaikan satu pertengkaran, naik level ketika berhasil tidak membiarkan diri tergoda oleh rayuan laki-laki/perempuan lain, berhasil membuat tersenyum pasangannya dengan kejutan-kejutan. Lalu pada babak akhir, si pemain akan menjadi pemenang bila ia berhasil menjadi orang yang menyaksikan pasangannya mati lebih dulu. Karena itu berarti ia telah bertahan pada permainan yang dulu ia mulai. Di kalangan artis, hal yang sama juga berlaku. ARS kalah di level ‘selingkuh’, mereka berpisah dan memulai permainan baru dengan orang lain. Artis senior WDY, berhasil menjadi pemenang karena suaminya meninggal lebih dulu sementara ia masih segar bugar. Terkait dengan permainan ini, siapa yang tidak tahu kalau rumah tangga DFS-LM sedang diguncang badai? Kalau Anda mengamini analogi saya, bahwa komitmen bagi mereka kalangan showbiz tak lebih dari sekadar permainan, mari bertaruh, apakah DFS-LM akan berhasil naik level atau kalah sampai di sini?

Simpan.

“Vionaaaa.”

Suara Tari menembus kubikel demi kubikel di ruangan itu lalu sampai di kubikel dan telinga Viona. Viona refleks melihat kalender meja di samping komputernya dan mengingat-ingat tanggal hari ini. Ia mencocokkannya dengan tanggal di kalender yang ia beri lingkaran merah. Waktunya tiba, desahnya.

Langkah gontainya kian bertambah-tambah ketika kakinya semakin mendekati kubikel paling ujung tempat si pemilik suara tadi bekerja. Ketukan pelan yang tak perlu di pembatas kubikel membuat Tari mendongak. Pandangannya tajam ke arah Viona, menusuk dari atas bingkai kacamata cat eye-nya.

“Deadline, Viona.” Kata Tari sambil menadahkan tangan, membuat Viona mengingat kembali kalimat-kalimat yang baru ia tulis. Belum sempurna dan belum pantas untuk diserahkan ke editor. Senyum Tari masih di sana, senyum manis yang membuat Viona merasa tak enak karena untuk ketiga kalinya ia bekerja tak sesuai jadwal. Tari bukannya tidak tahu bahwa Viona adalah penulis yang baik, juga pemerhati yang baik. Dan itu adalah modal yang lebih dari cukup untuk menjadi seorang penulis artikel yang baik. Sebaliknya, Viona juga bukannya tak tahu kalau Tari sengaja menempatkannya di rubrik gosip artis hanya karena Viona memiliki beberapa teman baik yang juga adalah teman baik para artis. Tak bisa menolak permintaan Tari –mentornya, Viona pun didaulat menjadi penulis artikel di majalah tersebut.

“Mbak Tari, artikel saya…” Viona tak kuasa melanjutkan kalimatnya. Kepalanya menunduk, memandangi sepatunya yang baik-baik saja.

“Nei, nei, nei…” Tari menggeleng-gelengkan kepalanya. Satu tangannya terlipat di dada dan satu tangannya kembali ditadahkan. “Hari ini juga, artikel kamu harus masuk ke saya. Supaya saya masih punya waktu untuk mengomentari. Meskipun saya percaya tulisan kamu pasti bagus, tapi proses editing wajib saya lakukan.”

Tari berdiri dari kursinya. Menghampiri Viona lalu memegang kedua bahu karyawan favoritnya itu. “Silakan.” Katanya sambil memutar tubuh Viona dan mendorong Viona kembali ke kubikelnya.

Langkah Viona masih gontai. Tak berubah. Kembali menuju kubikelnya. Putus asa, tangan Viona meraih ponselnya dan mengetik cepat sebuah pesan kepada Juni.

Lo harus jemput gue sekarang!

*

“Lo tahu nggak masalah terbesar lo?”

Viona berlagak bego. “Kagak.”

“Masalah terbesar lo adalah lo jomlo.”

“Sial. Jomlo itu pilihan dan gue memang memilih untuk menjadi jomlo.”

“Tapi secara nggak sadar, lo jadi pemurung. Melakukan semua-semuanya sendiri dan mendadak menganggap lo mampu. Padahal nggak. Okelah, kalo lo berhasil menjadi penulis artikel keren dan artikel lo dibicarakan banyak orang, dan untuk bisa sinis kayak isi artikel lo, lo memang harus jomlo. Tapi kehidupan pekerjaan kayak gitu nggak akan bertahan lama. Ada momen-momen lo akan merindukan Panca untuk sekadar ada di samping lo pada saat-saat sulit kayak sekarang dan berkata kalau semuanya akan baik-baik saja.”

“Nggak usah bahas mantan, deh.”

What? Tapi itu kenyataan. Dan lo nggak nggak bisa memungkiri kalau Panca masih menunggu lo. Dia nggak rela Lo putusin dengan alasan sibuk. Gila. Dan basi.”

Viona tak berkata-kata.

“Nih, coba.” Juni melemparkan pelan sebuah kartu ke tangan Viona.

*

Tiga minggu Viona mengabaikan kartu yang diberikan oleh Juni pada pertemuan mereka waktu itu. Di kartu tersebut ada nama dan nomor telepon juga situs sebuah biro jodoh. Biro jodoh! Mungkin Juni sudah gila. Riuh sendiri melihat kawannya yang semakin hari terlihat semakin kacau.

“Lo harus coba. Sekaliiii aja.” Kata Juni ketika itu.

“Cinta nggak bisa dipaksakan, Jun.”

“Tapi cinta bisa ditumbuhkan.”

“Kayak tanaman?” Viona berkata sinis.

Meski begitu, Viona menelepon We Match dan dua hari kemudian, Viona menerima balasan pesan yang memberitahukan tempat dan waktu ia akan berkencan dengan orang asing itu. We Match Juga memberitahu ciri-ciri laki-laki itu.

“Kemeja marun dan jeans. Jam tangan perak dan tato di punggung tangannya. Kami akan patikan bahwa ia yang akan lebih dulu tiba, dan ia akan meletakkan tangannya di atas meja supaya Anda bisa segera mengenalinya.”

Kupu-kupu beterbangan di perut Viona. Ia tak sanggup melakukan apa-apa, bahkan tak sanggup menelepon Juni untuk mengabarkan kemajuannya sejauh ini.

Viona mematut dirinya di depan cermin sekali lagi. Gaun selutut dengan potongan sederhana, berleher tinggi, tanpa lengan, sudah melekat indah di tubuhnya. Sepatu hak tinggi, dompet kecil, parfum favorit dan rambut digerai. Panca suka melihat rambutnya digerai.

“Ah, tidak. Tidak.”

Viona menggelengkan kepala, berusaha menghilangkan Panca dari pikirannya. Toh keputusan untuk putus berasal dari dirinya. Ia tak boleh menyesali hal itu.

Restoran yang menjadi lokasi pertemuan, terlihat ramai. Viona mensyukuri hal tersebut. Setidaknya ia bisa mengalihkan pandangan ke orang-orang seandainya suasana mendadak kaku. Ia menghampiri petugas restoran dan menyebut We Match sebagai kata sandi, lalu si pelayan mengantarkannya ke sebuah meja.

Laki-laki itu duduk membelakanginya. Kemeja marun dan jeans, Viona memastikan. Jam tangan perak dan tato di punggung tangan kanan.

“Hai.” Sapa Viona ketika si pelayan meninggalkan mereka berdua. “Maaf karena sudah membuat kamu menungg…”

Si laki-laki berbalik dan Viona refleks menutup mulutnya dengan kedua tangan. Panca ada di hadapannya!

“Ka-kamu?”

“Viona, aku mau minta maaf…”

Viona terlalu terkejut sehingga ia tidak mendengar kata-kata Panca yang demikian panjang.

Pada akhirnya, ia hanya mendengar, “Kamu mau memaafkan aku dan memberiku kesempatan kedua, kan?”

Kesempatan kedua. Barangkali hidup ini akan semakin mudah bila semakin banyak orang mau memberikan kesempatan kedua. Kata-kata Juni kembali terngiang di kepala Viona, “Lo yang memutuskan Panca karena sibuk. Padahal Panca nggak mau putus dari lo dan hidup lo berantakan kalau nggak ada dia. Panca masih cinta. Dan lo juga masih cinta dia. Sadar, deh.”

Dengan anggukan pelan dan doa panjangnya dalam hati, Viona berkata, “Semoga aku menang dalam permainan komitmen kali ini. Semoga kita menang.”

“Viona, kamu bilang apa? Permainan komitmen?”

Viona menghambur ke pelukan Panca. “Bukan, apa-apa. Aku baru sadar, kalau pelukan kamu adalah yang paling aku rindukan selama kita nggak bersama.”

Panca menyeka airmata yang membasahi pipi Viona. Dan di kejauhan, Juni tersenyum. Usahanya tak sia-sia.

***

One thought on “[Cerpen] Permainan Komitmen

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s